Move On (?) part.3

(still) December 2013
“Kayaknya udah nggak ada orang lagi, Vik,” kata Nana sambil berusaha mengintip kedalam lingkungan sekolah yang ada dihadapan mereka.
“Masuk dulu deh, itu Pak Rudin lagi jaga di pos. Kalau dia belum pulang, artinya masih ada orang dong,” jawab Vika sambil memarkirkan motornya didepan gerbang sekolah tersebut.
Mereka menghampiri Pak Rudin yang sedang duduk di Pos Satpam dan bersyukur karena beliau masih mengingat mereka berdua. Lagipula, siapa yang tidak mengingat Nana disana? Cewek dengan berbagai kasus, berbagai prestasi, sekaligus salah satu ‘penguasa’.
“Didalem masih ada orang nggak, Pak?” tanya Nana pelan.
“Masih. Setahu bapak masih ada yang main volley didalam. Langsung masuk aja, tapi kalau mau cari guru, sudah banyak yang pulang,” jawab Pak Rudin.
Vika menoleh pada Nana. “Gimana, Na? Masuk aja, yuk?” ajak Vika.
Nana menggeleng dan mencibir. Ia takut. Takut bertemu Ryan. Apa yang harus dilakukannya jika ia bertemu Ryan? Apa yang akan dipikirkan Ryan saat melihatnya? Lagipula, Nana yakin ia tidak sanggup melihat wajah Ryan. Bagaimana kalau ternyata Ryan sedang bersama pacar barunya? Berjuta pertanyaan memenuhi benak Nana.
“Vik? Aku grogi!” tukas Nana akhirnya saat Vika tidak berhenti membujuknya agar masuk kedalam.
“Ayolah, Na! Kesempatan nggak datang dua kali! Kapan lagi kita bisa kesini? Kamu pikir kita nggak sibuk?” kali ini Vika mulai kesal. Ia sengaja mengajak Nana kembali ke sekolah lama mereka dengan maksud agar mereka bisa bertemu Ryan. Vika ingin sekali melihat Nana bahagia meskipun hanya bertemu saja. Toh, Nana pernah bilang bertemu dengan Ryan sudah cukup membuatnya bahagia selama sebulan. “Ayo, Na. Sebentar aja. Belum tentu juga ada Ryan disana. Kita nggak tahu dia udah pulang atau belum, kan.”
Nana melirik jauh kedalam sekolah tersebut, berusaha mencari ‘kehidupan’ disana. Ia menghela nafas dan akhirnya mengangguk. “Ya udah, kita masuk. Tapi kita ke WC dulu ya?” kata Nana dengan wajah memelas.
“Yaelah, Na! Masih sempetnya ke WC! WC kan jauh dibelakang!” tukas Vika kesal.
“Nggak usah hiperbol, Vik. Nggak sejauh itu juga, kali. Yuk!” Nana menggandeng lengan Vika dan mereka berjalan kedalam.
Mereka melewati lapangan volley dan Nana bisa merasakan ada beberapa orang disana. Sound system masih menyala dan lagu diputar. Terdengar suara siswa yang bercengkrama dan juga suara bola yang dipukul dengan keras. Nana menundukkan kepalanya dalam-dalam, sama sekali tidak berani menoleh kearah kirinya—tempat lapangan volley berada.
“Na, ada Ryan!” pekik Vika pelan.
“Ssssttt!” desis Nana, masih dengan kepala tertunduk. Ia semakin melebarkan langkahnya dan mau-tak-mau Vika mesti mengikutinya.
“Na, dia ngeliat kesini,” bisik Vika, kali ini dengan bisikan yang terkontrol.
Nana tidak menjawab, ia sibuk dengan dirinya sendiri—jantungnya yang berdegup, pikirannya yang kacau, mukanya yang memerah, dan tangannya yang bergetar. Ia masih melangkahkan kakinya, menuruni tangga kebawah, menuju WC sekolah.
“Tolong pegang, Vik,” Nana menyodorkan tasnya yang hanya berisi sebuah buku dan alat tulis pada Vika. “Tunggu bentar, ya.”
Sebenarnya tidak ada yang dilakukan Nana didalam WC. Ia hanya berdiri disana, menatap langit-langit bangunan. Beruntung, WC di sekolah ini sama sekali tidak kotor, dari dulu hingga sekarang WC itu hampir selalu bersih dan harum, membuat para siswa betah berlama-lama didalamnya.
Nana keluar dari dalam bilik kemudian berjalan menuju wastafel. Ia mencuci tangannya dan membasuh wajahnya kemudian mengusapnya dengan tissue yang selalu siap sedia didalam saku roknya. Ia menatap wajahnya di cermin. Rambutnya masih rapi, seragamnya masih rapi.
“Udah cantik kok,” tukas Vika dengan kepala yang menyembul kedalam dari pintu. Ia berjalan mendekati Nana dan menatap ke cermin. “Na, nggak usah malu-malu gitu deh. Mana Nana yang aku kenal? Yang selalu punya kepercayaan diri.”
Nana hanya tersenyum mendengar celotehan Vika yang berusaha menyemangatinya.
“Na, jadi diri kamu sendiri aja. Inget, Ryan suka kamu dari kalian masih SD. Bayangin, Na. Dari SD dan sampai kalian seumur gini. Udah, yakin aja.”
Kali ini wajah Nana kembali memerah. Ya, Vika benar.
“Yuk, balik keatas,” ajak Nana.
***
“Na, itu Ryan,” kata Vika sambil menyenggol bahu Nana dengan bahunya.
Nana memberanikan diri untuk mengangkat wajahnya, ia melirik jauh kedepan dan melihat Ryan sedang duduk dipinggir lapangan, sibuk bercanda dengan temannya. Dengan segera Nana menundukkan kepalanya lagi. Pipinya merona dan tanpa sadar ia meremas tali tasnya. Tenang, Na…
Nana mengikuti Vika yang melangkahkan kakinya dengan pasti. Kali ini ia pasrah, ia akan ikut kemanapun Vika membawanya—asal bukan membawanya menghadapi Ryan. “Na, dia ngeliatin kamu! Sumpah!” ujar Vika heboh. Nana bisa merasakan senyum lebar diwajah Vika.
“Ya udah biarin aja,” jawab Nana sekenanya, masih dengan wajah menunduk dalam.
“Eh, ada Pak Wahyu disana. Kita samperin yuk!” tanpa menunggu jawaban Nana, Vika menarik lengan sahabatnya dan dengan semangat berjalan menuju lapangan volley. Disana ada Pak Wahyu dan beberapa siswa yang sedang melepas net.
“Assalamualaikum, Pak!” mendengar salam Vika, Nana segera menatap Pak Wahyu yang sudah ada dihadapan mereka. Kali ini ia tidak mau menunduk dalam-dalam. Ia berusaha terlihat biasa saja dihadapan Ryan yang berdiri tak sampai berjarak dua meter disamping mereka.
“Waalaikumsalam. Nana, Vika, tumben kesini,” Pak Wahyu menyambut mereka berdua dengan ramah dan sedikit terkejut.
“Iya, Pak. Tadinya kami mau nemuin Ibu Narni tapi ternyata udah nggak ada orang. Ya kan, Na?” Vika menatap Nana sambil tersenyum dan tiba-tiba mengedipkan mata kirinya pada Nana.
“Eh.. Iya Pak,” jawab Nana dengan tergagap. Ia hanya bisa tertawa dalam hati.
“Kalian terlambat. Harusnya dari tadi pagi,” jawab Pak Wahyu. “Sebentar, ya, Pak mau ke ruang TU dulu.” Pak Wahyu berjalan meninggalkan Vika dan Nana setelah beliau menepuk bahu kedua muridnya tersebut dengan pelan.
Vika dan Nana saling berpandangan kemudian tersenyum aneh. Tiba-tiba Vika memalingkan wajahnya dan berteriak, “Ryan!”
Entah apa yang terjadi, Nana hanya bisa membuang muka dan mencubit lengan Vika, memberi peringatan. “Ayo pulang, Vik,” katanya ketus sambil menarik lengan temannya yang masih ‘berkontak mata’ dengan Ryan.
“Iiih, kamu gimana sih? Kok malah pulang?” tanya Vika saat mereka sudah berada diluar lingkungan sekolah, tepatnya disamping motor Vika.
“Kamu bikin aku malu tau nggak! Udah yuk, pulang,” jawab Nana sambil mengenakan helm putih milik Vika.
Vika tersenyum melihat Nana yang setengah ngambek—walaupun ia yakin dalam hati Nana pasti senang. “Tau nggak tadi itu gimana?” kata Vika tiba-tiba.
Nana yang sedang menatap jalanan mengalihkan pandangannya, kembali terfokus pada Vika. “Apa?”
“Tadi temen-temen Ryan sibuk ‘cie-cie’, tau! Gara-gara ada kamu! Tau nggak Ryan tadi senyum-senyum gitu, malah sambil ngelirik kamu. Makanya tadi aku panggil dia. Dia masih senyum-senyum, tau. Senyumnya itu beda, Na!” cerita Vika dengan antusias. Nana sendiri hanya diam, tidak tahu harus bilang apa, yang pasti rohnya sudah melayang kemana-mana. “Aku gak tau ini bener apa gak, yang pasti aku yakin dia masih suka sama kamu. Sangat yakin.”
Nana menatap Vika dalam-dalam, ia tersenyum dan tiba-tiba memeluk Vika. “Makasih Vik,” bisiknya. “Jadi positif atau negatif?”
“Positif,” jawab Vika cepat dan tegas. “Semoga aja kamu bisa balikan sama dia.”
“Amin,” tukas Nana gembira. “Ayo pulang.”
Dan saat itu merupakan saat yang sangat membahagiakan bagi Nana. Ia tidak bisa berhenti tersenyum. Ia menutup kaca helmnya kemudian berteriak sekeras mungkin sambil tertawa, meninggalkan pengendara lain yang kebingungan. Vika ikut tertawa, ia senang bisa membuat Nana tersenyum dan ‘aneh’ lagi. Yang pasti ia selalu gembira kalau sahabatnya gembira.
***
Lagi-lagi Nana melirik ponselnya yang sedang di-charge diatas meja kecil disamping ranjangnya dan akhirnya ia menyerah. Ia mengambil ponselnya, membuka blackberry messenger. Sudah ada lebih dari 40 request dari pengguna bbm lainnya. Ia mengecek satu per satu, namun tidak ada satupun nama Ryan disana. Ia menghempaskan ponselnya kemudian menghela nafas, putus asa. Mungkin Ryan memang tidak berniat meng-invite-nya.
Tadi siang Nana meminta Rizky—salah satu temannya—mem-broadcast pin bbm Nana. Ia yakin Rizky punya contact Ryan dan ia berharap Ryan akan dengan senang hati meng-invite-nya. Vika bilang ia nekat dan agak ‘gila’, tapi mau bagaimana lagi? Nana rasa segala cara sah-sah saja dilakukan agar Ryan bisa kembali padanya.
Nana kembali membaca novelnya, berusaha fokus walaupun sebenarnya tidak bisa. Tiba-tiba ponselnya berbunyi—nada khusus bbm. Ia duduk tegak dengan segera dan menyambar ponsel disampingnya, membuka bbm lagi, sebuah request. Tuhan, sekali ini saja…aku harap itu Ryan. Ia membuka request dan matanya membulat. Ia berdiri dengan tatapan tak percaya—Ryan meng-invite!
“Akhirnyaaaa!” teriak Nana gembira. Ia meloncat-loncat diatas kasur dan menghempaskan tubuhnya. Dengan segera ia memilih tombol Accept dan menunggu hingga akhirnya Ryan ‘resmi’ ada di contact-nya.
“Semoga bisa balikan ya, Na,” ucap Vika setelah Nana memberitahu ‘kabar gembira’ melalui telepon.
“Amin. Semoga aja, Vik.”
Setelah itu, tidak ada yang bisa mendeskripsikan bagaimana bahagianya Nana.
***
“Smpe skrang blum di chat?”

“Blm kak. Mgkin emg niatnya cma skedar invite.”

“Masa’ gitu sih? Udh sminggu lbih, Na.”

“Mkanya kak… mgkin mmang dia cma mau invite aj. Kbtulan kan aku di promote wktu itu.”
Saat ini Nana sedang mengobrol dengan Adhan—kakak sepupunya—via bbm. Adhan memang salah satu orang yang selalu menjadi tempat bercerita untuk Nana. Mereka seringkali saling berbagi curhatan dan saling memberi semangat.
Memang sudah seminggu lebih sejak Ryan meng-invite Nana, namun hingga saat ini belum ada sedikitpun tanda Ryan ingin kembali dekat dengannya, berbasa-basi pun tidak. Kadang Nana berpikir, untuk apa memiliki contact-nya kalau mereka sama-sama bersikap seolah tidak saling mengenal?
“Sini, krim pin Ryan.”

“Hah? Buat ap kak?”

“Aku mau ngmong sm dia, Na. Aku mau bntu kmu buat balikan sm dia. Aku tau kmu suka bgt kan sm dia. Udah, kirim aj.”

“Gak usah deh kak. Prcma, kyknya dia ga mau blikan lgi deh

“Kita ga bkal tau kalo blum nyoba, Na. Krim aja dlu.”
Nana terdiam selama beberapa detik, membuat keputusan. Akhirnya ia menyerah dan mengirim pin Ryan pada Adhan. Ia menggigit bibirnya, saat ini semua bisa menjadi awal atau akhir dari perasaannya pada Ryan. Ia takut menghadapi kenyataan saat ini. Tapi sudahlah, toh ia sudah terlanjur mengirim pin Ryan pada Adhan. Biarkan saja semuanya berjalan, meskipun berjalan tidak sesuai dengan keinginan Nana.
“Sbntar ya Na, ntar aku kbarin kalo udah.”
***
Nana segera mengambil ponselnya saat terdengar nada dering untuk bbm. Sebuah pesan… dari Adhan.
“Naaaaaa dia punya pacar..”
Nana mematung. Ponsel yang ia pegang langsung terjatuh diatas karpet. Tubuh Nana seketika merosot, tatapannya kosong—menerawang tak jelas. Terasa ada pisau yang menancap didadanya, sangat sakit. Nafasnya sesak, matanya panas. Jangan nangis, Na.
Ia kembali memungut ponselnya yang berbunyi dan membuka pesan dari Adhan. Kali ini airmatanya benar-benar mengalir. Ia tidak bisa menahannya.
“Namanya Rasya, Na. Sabar ya :(”
Nana meremas rambutnya dengan keras. Ia memukul-mukul lantai yang dilapisi karpet dengan kalap. Ia kesal, hatinya sakit… ia kacau sekarang. Bukannya Vika bilang Ryan sedang tidak ingin pacaran? Bukankah katanya Ryan lelah untuk pacaran? Munafik.
“Sakit hati nih kak:( Tapi..selalu sabar kok.”
Jadi ini akhirnya? Penantian Nana selama ini, hatinya yang tidak berpaling dari Ryan, batinnya yang selalu menyebut nama Ryan, mimpinya yang hampir selalu ada Ryan, pikirannya yang selalu diisi Ryan…. Jadi ini hasilnya? Percuma. Sia-sia. Ternyata kesabarannya selama ini berakhir hari ini.
“Vik, Ryan udah punya pacar :)
Nana menutup wajahnya dengan telapak tangan. Airmatanya masih mengalir, tidak menolerir jiwanya yang terlalu letih karena selalu menahan perasaan. Ia sangat menyayangi Ryan, sungguh… ia mencintai Ryan. Haruskah ia mengatakannya pada Ryan? Ia sudah cukup lelah hanya menjadi ‘stalker’, ia lelah hanya bisa melihat Ryan dari jauh, ia lelah tidak bisa berbicara atau bersikap seperti dulu pada Ryan.
“Selamat tinggal… cinta. Ini yang terakhir kalinya aku menunggumu,” bisik Nana lirih. 
***
Written by: Naura Hafiza A

Comments

Popular posts from this blog

Ibu Kita Kartini

Afgansyah Reza-Refrain (chord gitar dan lirik lagu) Ost.Refrain 2013

Hasta Karya dari Barang Bekas