Gaze Part.3

Baca sebelumnya : Gaze Part.2

Part 3
“Nay, aku kesana dulu, ya.”
“Oke, bentar lagi aku nyusul, Rin,” jawabku kepada Rina.
Rina berjalan menuju tempat makan yang berada tepat disamping lembaga kursusku. Bisa dibilang seperti warung makan, disini tidak ada rumah makan; kebanyakan rumah kecil atau pondok yang disulap menjadi tempat makan berukuran lebih besar dari warung makan dengan menu yang lebih bervariasi.
Rina adalah temanku satu sekolah. Aku memang tidak sendirian pergi kesini, tepatnya bersama tiga teman; Rina salah satunya dan dua diantaranya laki-laki. Biasanya kami berempat berkumpul hanya saat di kelas atau kadang-kadang saat kami memutuskan untuk makan bersama. Selain dari itu, aku dan Rina mengerjakan apapun bersama teman satu dorm, begitu juga dengan mereka berdua.
Rina adalah alasan mengapa tadi malam temanku yang lain tiba-tiba memotong pembicaraanku dengan si kacamata. Sebenarnya bukan karena sedang tidak enak badan, tapi karena mood Rina yang memburuk. Sejak awal disini, dia memang kurang betah terhadap apa saja; keadaan dorm, tempat makan, kegiatan belajar-mengajar, ah…pokoknya segalanya. Dan semalam, Kak Alya—temanku yang mengajakku kembali ke dorm tadi malam—melihat Rina sudah bete abis sambil berjalan sendiri menuju dorm. Itulah sebabnya kenapa Kak Alya buru-buru mengajakku kembali. Tapi, entahlah… saat kutanya, Rina bilang dia tidak apa-apa dan sedikitpun tidak bad mood sama sekali. Ya, memang membingungkan.
Jadi, aku memutuskan untuk menemaninya sarapan. Dia memang tidak ikut aku dan teman-teman se-dorm untuk sarapan setelah kelas pertama, dia bilang dia ingin sarapan setelah kelas kedua saja. Lagipula, sekarang masih jam 9 pagi, belum terlalu lewat waktu sarapan.
Saat ini aku sedang menunggu salah satu temanku yang masih belum menyelesaikan conversation dengan partnernya; aku sudah berjanji akan menunggunya dan mengumpulkan tugas writing bersama. Setelah mengumpulkan tugas, aku menyusul Rina sesegera mungkin sendirian saja karena teman-teman yang lain ingin kembali ke dorm—mencuri-curi waktu untuk beristirahat sekaligus ngadem sambil menunggu kelas berikutnya.  
Kulihat Rina duduk ditempat lesehan sambil menikmati makanannya sendirian. Aku menghampirinya namun kemudian pandanganku terhenti sejenak karena melihat sesosok orang yang tak lain adalah si kacamata. Ia sedang berbicara dengan temannya—seorang perempuan—berdua saja di meja dekat pintu masuk. Aku menundukkan kepalaku dan segera duduk didepan Rina, sebisa mungkin tidak terlihat oleh si kacamata.
“Mau makan juga gak? Atau minum?” tanya Rina. 
“Nggak, Rin. Aku temenin kamu aja, deh,” jawabku.
“Nayyah?”
Oh. Tidak.  
Aku menoleh dengan canggung kearahnya yang masih duduk ditempat yang sama. “Ya?”
Have you eaten?” tanyanya sambil tersenyum.

Yeah, already.” Aku menganggukkan kepala sambil membalas senyumnya.
Aku kembali menoleh pada Rina yang memandangku dengan tatapan bertanya, dan aku hanya mengangkat bahuku seolah tak peduli. Aku memang tidak cerita banyak soal si kacamata pada Rina. Kupikir, memang tidak ada yang perlu diceritakan, kan?
Dari sudut mataku, aku lihat dia berdiri, begitu pula dengan temannya. Tapi, dia tidak melangkahkan kaki menuju pintu seperti temannya, melainkan kearahku.
Dia bergabung dan duduk disampingku.
Oke, aku jadi sedikit gugup, sekaligus tak enak hati.
Dia menyapaku dan Rina, setelah itu mengajakku berbicara beberapa hal ringan.
So…” dia kembali berbicara. “What happened last night?”
“Ah…” aku menggantung ucapanku, bingung harus berkata apa. Tidak mungkin, kan, kalau aku bilang penyebabnya adalah Rina. Bisa-bisa Rina makin bad mood karena ia sendiri merasa tidak ada masalah pada dirinya semalam.
“Ya?” ia memiringkan kepalanya.
I can’t tell you right now,” jawabku sambil melirik Rina dari sudut mataku; rupanya ia masih fokus pada makanannya. Syukurlah.
Ia terlihat bingung. “Why?—Oh!” tiba-tiba ia mengeluarkan ponsel dari saku celananya. “Maybe you can try to tell me by text?” ia menyodorkan ponselnya. “Can I have your number?”
Oh, ayolah. Dari sekian banyak cara “anak-anak cowok” saat meminta nomor ponselku, jadi ini salah satu cara terbaru—modus terbaru?
Wow.
Aku baru sadar kalau aku terlalu pede. Mungkin itu bukan modus, dia hanya memberiku opsi media lain untuk menceritakan kejadian semalam. Yaaah… mungkin ini efek karena terlalu sering dimodusin anak laki-laki.
Tidak, Nay, kamu terlalu…. entahlah. Haha.
Kuputuskan kalau dia memang ‘pure’ meminta nomor ponsel agar tahu alasanku mendadak meninggalkannya semalam. Toh aku sedikit tidak enak hati padanya karena pergi begitu saja. Akhirnya kuketikkan deretan nomor di ponselnya, kutuliskan nama lengkapku, kemudian kusodorkan kembali padanya.
“Nama yang bagus,” katanya dan aku tersenyum.
Setelah itu, kami mengobrol dengan akrab sampai Rina selesai makan. Ya, akrab sekali.
***
Siang ini matahari bersinar terik dan aku putuskan untuk menunggu kelas berikutnya di dorm. Aku bukan tipe orang yang bisa bertahan dibawah teriknya matahari. Aku memang tidak akan pingsan, hanya saja rasanya energiku seakan terserap habis dan aku akan terlihat seperti manusia yang tidak diberi makan berhari-hari.
Dering sms terdengar saat aku sedang mengobrol dengan beberapa temanku. Ternyata sudah ada dua pesan disana. Satu dari temanku yang sudah satu bulan ini “dekat” denganku, dan satu lagi dari nomor yang tidak terdaftar di contact list.
-Hey, where are you? :D Jeremy.-
Si kacamata itu mengirimkan pesan dan akhirnya aku tahu namanya adalah Jeremy. Keterlaluan, padahal tadi pagi aku sempat mengobrol panjang lebar dengannya. Jujur, aku terlalu gengsi untuk menanyakan namanya lagi, kan semalam aku sudah sok-sokan tahu namanya.
-Dorm. Waiting for dzuhur. What happened?-
Tak sampai lima menit sudah ada balasan darinya. Dia bertanya apakah aku tidak keluar untuk makan siang dan kujawab aku akan makan setelah kelas keempat—writing class, kira-kira setelah ashar. Akhirnya, percakapan di sms itu berakhir saat kelas keempat dimulai.
***
Temanku bilang, si kacamata itu—maksudku Jeremy—sepertinya mengikutiku, buktinya ia makan ditempat yang sama denganku setelah kelas keempat berakhir; tepat setelah aku dan teman-temanku menempati salah satu meja kosong disana, ia juga datang.  
Aku tidak terlalu memikirkannya, sih. Sepertinya kebetulan saja, meskipun aku sedikit curiga karena tadi siang dia bilang dia mau makan. Kenapa tiba-tiba dia baru makan sekarang?
Lagi-lagi aku merasa kepedean. Cih.
Kuputuskan untuk membuang muka saat dia berjalan melewatiku.
Setelah kelas kelima, dia mengirimkan sms lagi dan akhirnya kami mengobrol disana.
Dia mengajakku untuk minum jus bersama setelah kelas terakhir sambil menyambut tahun baru.
Aku harus jawab apa?
***
Malam menuju tahun baru dikelas multimedia, lagi-lagi dia duduk didepanku. Malam ini tidak ada kegiatan yang terlalu serius dikelas dan akan bubar lebih cepat satu jam. Kelas menjadi ramai dengan obrolan-obrolan. Begitu pula dengan aku dan Jeremy yang mengobrol.
Karena didalam sana terlalu berisik, kami mengobrol via sms sambil sesekali melontarkan ekspresi—entah itu tertawa atau sekedar tersenyum saja. Lucu, padahal kami duduk berhadapan.  
Malam itu dia meminta id LINE dan aku memberinya, kemudian dia langsung meng-add akun milikku. Setelah itu, kami disuguhkan film dan lampu pun dimatikan.
Aku dan Jeremy masih saja ber-sms-ria.
Sekali lagi, ia menawarkan untuk merayakan tahun baru bersama—berdua saja—dengan minum jus. Siswi perempuan tidak diperbolehkan keluar lewat dari jam 10 malam meskipun malam tahun baru, jadi jika aku pergi dengannya, sudah pasti hanya sampai jam 10. Tidak terlalu malam.
Jujur, aku sedikit ragu dan takut. Kami baru mengenal dan aku sendiri tidak tahu banyak tentangnya. Maksudku, dia terlalu…. cepat…atau to the point? Bisa-bisanya dia semudah itu mengajakku pergi.
Lagi-lagi dia bertanya apakah aku mau minum jus bersamanya.
Ah sudahlah, toh penjual jus letaknya tidak jauh dari sini. Mungkin tidak ada salahnya pergi bersamanya. Dia kelihatan cukup baik dan ramah, selain itu anggap saja sebagai “ganti” karena sudah tidak sopan meninggalkannya—yang juga menawarkan untuk minum jus—semalam.
Akhirnya, aku setuju untuk pergi “jalan-jalan” dengannya.
***
Awalnya sedikit canggung, tapi lama-kelamaan aku mulai biasa saja mengobrol dengannya. Kuakui dia asik dan cukup lucu, walaupun kadang garing.
Rupanya, aku dan dia sama-sama penikmat jus mangga. Tapi, dia memutuskan untuk minum jus lain—supaya bervariasi, katanya. Jadi, dia memesan jus buah naga dan menyesal karena jus itu tidak ada rasanya.
“Nih, cobain,” ia menyodorkan jusnya.
Saat ini kami hanya berjalan menyusuri trotoar sambil bercerita banyak hal—ya, banyak hal. Entahlah, aku justru menjadi “pendongeng” karena aku lebih banyak bercerita dibandingkan dia. Dia sendiri lebih banyak bertanya tentang aku.
Aku melirik dia yang masih menyodorkan jusnya. Maksudnya, aku mencicip jus itu? Dengan sedotan miliknya? Itu berarti….
Ayolah, Nay! Singkirkan dulu komik-komik manga yang sering dibaca itu!
Apa tidak apa-apa, ya?
Tapi ‘kan baru kenal.
Masa’ aku minum jusnya?
Dia tidak ada penyakit menular kan?
Hahaha, pasti tidak ada. Dia kelihatan seperti ‘anak sehat’, kok.
Dia malah semakin mendorong jusnya dihadapanku. Ah, sudahlah.
Aku meminum jusnya sedikit dan akhirnya menyesal. Jus itu memang parah, tidak ada rasanya sama sekali. Dia justru tertawa melihat ekspresiku, dan aku sendiri tertawa mengasihani pilihan jusnya yang salah.
“Apa aku buang aja, ya?” tanyanya.
“Eh, jangan!” aku mencegahnya. “Minum aja, masa’ dibuang.”
Dia menggaruk kepalanya, kami masih berjalan tak tahu arah menyusuri trotoar. Kemudian, ia menoleh padaku. “Boleh aku cicip jus mangganya?”
Lagi-lagi aku kebingungan.
Haruskah kuberikan padanya?
Apa aku harus memintanya supaya meminum jusku dengan sedotannya?
“Nih,” aku menyodorkan jusku.
Eh… Kuberitahu, akhir-akhir ini tubuhku sering bergerak berlawanan dengan perintah otakku.
Wah, aku baru saja ngeles.
***
Dia mengantarku kembali ke teman-temanku yang kebetulan masih nongki-nongki-cantik di tempat makan. Aku dan dia masih berdiri didepan—di trotoar.
“Liat, bulannya penuh,” katanya.
“Iya. Bagus, ya,” jawabku singkat.
“Iya, bulannya bersinar, kayak kamu.”
Yaelah, aku digombalin? Baru kali ini aku bertemu orang yang terang-terangan seperti dia di waktu yang—bisa dikatakan—sangat-sangat singkat. Sepertinya dia punya banyak pengalaman menggombali perempuan.
Semoga saja tidak.
Akhirnya, aku hanya tertawa.
Sampai aku dan dia kembali ke dorm, kami masih mengobrol via sms hingga akhirnya aku tertidur tanpa sadar. Saat aku terbangun di pagi hari, aku membaca dua pesan darinya; satu pesan balasan dari obrolan kami dan satu lagi ucapan selamat tahun baru tepat jam 12 malam.
Malam itu, dia memberiku nama panggilan khusus: Neraw.

*** 

Comments

Popular posts from this blog

Ibu Kita Kartini

Afgansyah Reza-Refrain (chord gitar dan lirik lagu) Ost.Refrain 2013

Kumpulan Pantun 11 IPA 1