Kepada Tuan yang Istimewa




Kepada Tuan, yang memberikan kebahagiaan. 

Tuan, tahukah kau, bahwa hidupku sungguh terpuruk selama hampir delapan bulan kemarin? Tuan, aku bahkan tidak bisa mendefinisikan bagaimana hancurnya aku setiap hari. Setiap pagi, aku marah karena Tuhan masih menghidupkanku. Aku ingin mati saja. Setiap pagi, aku terbangun dengan kejutan tanpa sebab lalu segera menyambar ponselku, berharap akan ada pesan atau kabar baik atau apapun itu dari seseorang yang kutunggu--yang telah meninggalkanku. Tapi tidak ada, lalu aku menangis dan hancur lebih parah dari hari sebelumnya.

Tuan, tahukah kau, bahwa aku sangat kesulitan untuk sekedar berkomunikasi dengan orang-orang, untuk sekedar tersenyum dan tertawa, atau mengobrol basa-basi. Sulit sekali, sulit. Bahkan, kalimat "merasa sendiri di tengah keramaian" memang nyata terjadi di hidupku saat itu. Pada akhirnya, aku memilih untuk menyimpan semuanya, hanya mau berkomunikasi dengan orang-orang tertentu, dan menarik diri.

Tuan, tahukah kau, bagaimana kesulitannya aku untuk mengontrol diriku saat itu? Bagaimana aku berjuang untuk menahan iblis di dalam diriku untuk tidak melakukan berbagai hal gila terus-menerus? Tuan, saat itu aku melakukan segala upaya untuk menyiksa diri sendiri--bahkan jika bisa membunuh diri sendiri. Asal Tuan tahu, memar dan

rasa sakit disekujur tubuh tak lagi terasa sebagaimana mestinya; darah yang mengalir dan keluar melewati kulit di tubuhku tidak memberikan efek apa-apa. Aku sudah mati rasa, dan berharap aku benar-benar mati saja.

Tapi, Tuan, tahukah kau, bahwa dari sana aku belajar untuk memaknai segala hal yang terjadi--meski sambil bersedih hati dan tetap ingin mati? Bahwa dari sana, aku membuka mataku lebar-lebar dan menyadari bahwa Tuhan terus-menerus memberikan nikmat yang tak terkira; Ia mengirimkan orang-orang yang rela menemaniku, memastikan aku baik, menghiburku, mendukungku, dan segala hal menyenangkan lainnya. Ia terus-menerus mengirimkan bermacam-macam orang, juga bermacam-macam kejadian yang membuatku membaik sedikit demi sedikit namun sekaligus merasa kecil dan tak pantas menerimanya karena aku hanyalah pendosa yang terpuruk karena hal yang kupercayai adalah cinta. Bukankah masalahku sepele sekali? Tak pantas, Tuan. Rasanya tak pantas.

Lalu, Tuan, meski aku membaik, tahukah kau bahwa ada lubang kosong menganga yang kupikir akan menutup tanpa perlu diiisi di relung hati dan jiwa jika dibiarkan begitu saja? Tapi, karena kekosongan itu, kemudian aku muak ketika orang-orang yang berjenis kelamin berbeda denganku muncul dan "memaksa" untuk masuk ke kehidupanku, berusaha berbicara padaku, berusaha mengenalku, berusaha menghabiskan waktu denganku. Tuan, saat itu, aku justru berharap jika bukan aku yang lenyap, mereka saja yang lenyap--setidaknya dari hidupku. Sayangnya, terkadang sulit sekali mengusir orang-orang itu dari hidupku dan meminta secara gamblang agar mereka pergi jauh-jauh. Aku rasa, aku masih ingin menyembuhkan diri sendiri, tanpa membutuhkan bantuan orang lain dalam artian menggantikan posisi yang dulu--yang telah menciptakan lubang itu--karena rasanya masih sangat tidak mungkin. Bahkan atas pengkhianatan yang aku terima, atas kesakitan yang aku derita, kupikir tidak semudah itu untuk orang lain menggantikan dia yang dulu. 

Hingga akhirnya, Tuan kembali hadir di hidupku.

Dan rasanya berbeda. Aku tidak bisa menolaknya.

Tuan, tahukah kau, mungkin aku memang sudah membaik, tapi Tuan justru membuatku sembuh berkali-kali lebih cepat. Tuan mungkin tidak tahu ini, dan aku memang merasa tidak perlu memberi tahu, tapi sungguh, Tuan memberikan efek yang sangat besar meski apa yang Tuan lakukan tidak seberapa. Memangnya apa yang Tuan lakukan selain mengajakku bercengkerama? Hehe.

Kemudian, Tuan, akhirnya aku berpikir kembali atas apa yang terjadi saat ini. Mengapa Tuan sebegitu magisnya menyembuhkanku? Aku berpikir, bahwa apakah mungkin justru selama ini tempat Tuan di dalam diriku tidak pernah tersingkir? Apakah mungkin selama ini Tuan masih di tempat yang sama; hanya aku menutupinya untuk sementara waktu. Lalu, ketika yang menutupi itu pergi, Tuan masih disana, di tempat yang sama, karena memang tak pernah kugeser apalagi kusingkirkan.

Tuan, tahukah kau, bahwa aku mungkin senang, tapi aku juga takut? Atas apa yang menghancurkanku beberapa bulan ke belakang, tak sebegitu mudahnya bagiku untuk menganggap semua ini nyata; untuk percaya bahwa Tuan itu nyata, bahwa Tuan memang tulus hadir kembali. Aku masih berhati-hati, Tuan. Tapi, aku tak begitu peduli. Karena sekarang aku senang, bahagia, dan kembali sepenuhnya menjadi "aku"; bukan hanya karena waktu yang menyembuhkan, atau karena orang-orang kiriman Tuhan, tapi juga karena Tuan yang terus-menerus membuatku tersenyum dan tertawa.

Tuan, syukurlah, aku tidak sampai mati seperti yang aku inginkan. Kali ini Tuan perlu tahu, bahwa aku akan menyesal jika aku mati, karena itu artinya kita pasti tidak akan bisa bertemu lagi dan menikmati malam bersama seperti waktu itu.

Kepada Tuan, yang memberikan kebahagiaan. 

Sebagai manusia, aku tak tahu apa yang akan terjadi dimasa depan. Aku tak tahu jika suatu saat aku akan sakit lagi, atau Tuhan tidak lagi mengirimkan orang-orang baik, atau Tuan sendiri akan pergi juga pada akhirnya. Yang pasti, aku ingin menikmati saat ini. Begini saja. Sesederhana ini.

Kepada Tuan, yang memberikan kebahagiaan; kuucapkan terima kasih karena sudah hadir kembali setelah beberapa tahun lamanya.

Untuk Tuan, yang memberikan kebahagiaan; kali ini Tuan perlu tahu, Tuan sungguh istimewa.


Comments

Popular posts from this blog

Ibu Kita Kartini

Afgansyah Reza-Refrain (chord gitar dan lirik lagu) Ost.Refrain 2013

Kumpulan Pantun 11 IPA 1