Ibu Kita Kartini
Hai readers! :) Aku mau sharing teks drama nih, tentang R.A Kartini. Sebenernya teks ini udah lama kesimpen gitu aja dalem notebook, jadi mending dibagiin aja ya. Kali aja ada yang perlu. Perlu diketahui, drama ini ada beberapa bagian yang ditambah, misalnya para pemain. Soalnya teks ini waktu itu dipake untuk penampilan drama orang sekelas. Jadi ada beberapa penambahan pemain, kayak pengawal yang ada 3 orang dan murid yang ada 6 orang--padahal sebenarnya 1 orang aja cukup. Pokoknya, ntar edit sendiri aja deh sesuai kebutuhan.
Nama Pemain:
Raden Ajeng Kartini (Trinil), M.A Ngasirah (Ibu), R.M Adipati Ario Sosroningrat (Ayah), K.R.M Adipati Ario Singgih Djojo Adiningrat (Suami), Rosa Abendanon (sahabat), Annie Glaser (sahabat), Stella (sahabat), Van Kol (sahabat), Kardinah (kakak), Roekmini (kakak), Soematri (adik), Panji Sosrokartono (kakak), R.M Boesono (kakak), Mr & Mrs. Abendanon, Wanita 1 & 2, Bidan, Murid 1-6, Pengawal 1-3, Pak Pos.
Dan.... beginilah ceritanya:
Drama
dibuka dengan kumpulan surat dari R.A Kartini.
Scene
1
Jepara, Jawa Tengah,
tanggal dan bulan ditahun 1891. Hari itu Kartini kecil tidak bisa berhenti bersedih.
Kedua orangtuanya, R.M Adipati Ario Sosroningrat dan M.A Ngasirah menyampaikan
sebuah berita yang membuatnya sangat terkejut; sudah waktunya baginya untuk
dipingit. Seperti gadis pribumi lainnya yang berhenti sekolah dan bersembunyi
dibalik tembok tinggi. Ia akan meninggalkan sekolahnya terutama sahabatnya;
Rosa Abendanon, Annie Glaser, Stela, Van Kol, dan lain-lain, kemudian memasuki
dunia yang kelam karena tak pernah tahu apa yang terjadi diluar rumahnya.
Kartini :
Ibu, bapak, Trinil ingin melanjutkan sekolah. Trinil ingin menjadi gadis
pribumi yang cerdas, memiliki cita-cita, membuat dunia ini terang. Trinil tak
ingin dipingit, Trinil ingin bersekolah.
Ario Sosro : Trinil, bapak tidak bisa memenuhi permintaanmu. Ini adalah
tradisi, adat istiadat sejak dulu. Perempuan tidak perlu bersekolah yang
tinggi, nak. Sudah saatnya untukmu dipingit, mempelajari segala hal yang harus
dikuasai oleh seorang wanita kemudian menikah dengan orang yang tepat.
Kartini :
(menangis) Pak, tidak bisakah sesekali tradisi itu tidak dilaksanakan?
Ario Sosro : Trinil, bapak adalah Bupati. Bapak adalah pemimpin Rakyat
Jepara. Bapak tidak mungkin menghancurkan tradisi kita sendiri. (berdiri
kemudian pergi)
Kartini :
(berpaling menatap ibu) Bu, Trinil mohon..
Ngasirah :
(membelai rambut Kartini) Sudahlah, Trinil. Laksanakan apa yang sudah menjadi
tradisi. Kelak, kau akan mengerti mengapa semua ini dilakukan.
***
Scene 2
Sore
itu Kartini berkumpul bersama dua adiknya, R.A Kardinah, R.A Roekmini dan R.A
Soematri, serta dua kakaknya, R.M Panji Sosrokartono dan R.M Boesono. Kartini
adalah anak perempuan tertua, maka ia-lah yang pertama kali merasakan bagaimana
rasanya dipingit.
Kartini : Bagaimana rasanya dipingit?
Panji :
Entahlah, Trinil. Yang pasti, tentu saja kau tak bisa terlalu bebas
berinteraksi dengan semua orang. Kau akan dikawal kemanapun kau pergi.
Kartini : Aku tak mau dipingit dan aku ingin
bersekolah.
Boesono :
Tenanglah, Trinil. Memang ini semua sudah adat dan tidak mungkin kita
menghancurkannya. Kami akan meminjamkan buku-buku padamu agar kau bisa tetap
belajar. Dan aku berjanji akan menjadi Guru Bahasa Belanda-mu, menggantikan
gurumu yang lama.
Kartini :
(tersenyum) Terimakasih. Aku sangat menyayangi kalian. Perasaanku sangat kacau
sekarang. Semuanya akan terasa seperti dipenjara.
Panji :
Bersabarlah, adikku. Kau bisa melalui ini semua. Kau adalah perempuan tangguh.
Kami yakin itu. (menepuk bahu Kartini)
Kartini :
(mengangguk) Ya, itu pasti.
Roekmini :
Sesungguhnya, apa itu dipingit?
Kartini :
Entahlah. Ibu bilang, aku tak akan bisa bebas seperti dulu, dan aku akan selalu
ditemani kemanapun aku pergi. Aku tak masalah dengan itu semua, sebenarnya yang
aku inginkan hanya bersekolah.
Soematri :
Aku, Roekmini dan Kardinah masih bersekolah. Kapan kami akan dipingit juga?
Kardinah :
Saat umur kita mencapai 12 tahun, Soematri. Ya kan, Trinil?
Kartini :
(mengangguk)
***
Scene
3
Kartini
sedang duduk disalah satu bangku kayu yang terletak di halaman belakang
rumahnya yang sangat penuh dengan pepohonan. Ini hari kelima ia dipingit dan ia
sudah mulai mengerti bagaimana rasanya. Yang pasti, semua terasa membosankan.
Tiba-tiba,
dua gadis berwajah Eropa terlihat berjalan dari kejauhan. Kartini memicingkan
matanya dan segera tertawa gembira melihat siapa yang datang mengunjunginya,
dua sahabatnya, Rosa Abendanon dan Stella.
Kartini :
Rosa! Stella! (memeluk kedua sahabatnya)
Rosa :
Oh, Kartini. Bagaimana kabarmu?
Kartini :
Secara fisik, aku baik-baik saja. Tapi, aku tak bisa memungkiri bahwa batinku
terasa perih. Kalian tahu aku tak suka berdiam diri.
Stella :
Kami mengerti, Kartini. Kami pun sangat merindukanmu. Tidak ada lagi gadis
pribumi yang sangat cerdas dan ceria sepertimu. Kelas terasa sepi sekali.
Kartini :
Aku juga sangat merindukan kalian. Sebenarnya aku ingin kembali, aku ingin
sekolah. Tapi tradisi membuat semuanya tidak bisa kulakukan. (menuntun Stella
dan Rosa duduk di bangku)
Stella :
Aku pun tak mengerti dengan tradisi itu, Kartini. Apa salahnya perempuan
bersekolah?
Rosa :
Ya, aku juga berpikir begitu. Apa yang kau lakukan jika kau tak sekolah,
Kartini?
Kartini :
Aku hanya melakukan semua hal yang dilakukan oleh perempuan selayaknya.
Kemudian aku akan menikah. Begitu yang dikatakan oleh Ibuku.
Rosa :
Oh, Kartini. (merangkul Kartini) Kau harus bersabar. Kapanpun kau membutuhkan
kami, kami akan selalu ada untukmu.
Kartini :
Terimakasih Rosa, Stella.
Stella :
Kartini, ini kami bawakan buku-buku untukmu. Beberapa diantaranya berbahasa
Belanda. Kau bisa belajar dari buku-buku ini. (menyodorkan buku-buku yang
diikat dengan tali)
Kartini :
(meneteskan airmata) Sungguh, aku tidak bisa berkata apa-apa lagi.
Rosa :
Tak apa, Kartini. Nanti kami akan mengunjungimu lagi dengan Annie dan Van Kol.
Kami akan membantumu melewati masa-masa sedihmu.
***
Scene
4
Tidak
ada yang bisa menggambarkan bagaimana sedihnya Kartini dipingit berbulan-bulan.
Ia ingin berkeliling Jepara tanpa pengawalan, bebas berbaur dengan masyarakat
pribumi lainnya. Namun, ia sedang dipingit, dan ia sendiri tidak berani
bertanya pada orangtuanya kapan masa-masa pingitan itu akan berakhir. Ia takut
menghadapi jawaban orangtuanya. Biarlah semua ia lalui saja. Ia harus bersabar.
Hari-harinya
pun diisi dengan semua hal yang katanya harus bisa dilakukan oleh wanita
sejati, ditambah dengan belajar Bahasa Belanda melalui buku-buku yang
dipinjamkan oleh sahabat-sahabatnya dan kakaknya, R.M Boesono.
Tiba-tiba
Kartini mendengar jendela kamarnya yang berbunyi, sepertinya karena kerikil. Ia
bertanya-tanya siapa yang melempar kerikil ke jendela. Akhirnya ia membuka
jendela kamarnya dan melihat tiga adiknya berjongkok dengan senyum lebar.
Kartini :
Kardinah, Roekmini, Soematri! Apa yang kalian lakukan?
Soematri :
(menempelkan telunjuknya di bibir) Ssstttt!!!
Kartini :
(menutup mulutnya dengan telapak tangan, berbisik) Kenapa kalian bersembunyi
seperti itu?
Roekmini :
Trinil, ayo kita pergi!
Kardinah :
Ya, ayo kita berkeliling Jepara!
Kartini :
Kalian tahu aku sedang dipingit. Aku harus pergi dengan pengawalan, dan tidak
mungkin aku bisa bebas berinteraksi dengan masyarakat.
Roekmini :
Maka dari itu, jangan sampai Bapak dan Ibu tahu. Kebetulan mereka sedang pergi.
Ayo kita pergi, Trinil! Kami bertiga yang akan mengawalmu.
Akhirnya
Kartini dan tiga saudaranya pergi tanpa diketahui siapapun. Kartini berhasil
keluar dari ‘penjaranya’. Ia sangat bahagia dan segera menghirup nafas
dalam-dalam saat melewati pagar rumah mereka yang besar. Dengan segera, ia dan
saudara-saudaranya menaiki delman yang kebetulan lewat, dan meminta agar sang
kusir mengantar mereka berkeliling Jepara.
Saat
melewati beberapa rumah penduduk, Kartini melihat sekumpulan wanita yang sedang
duduk disebuah pondok bambu kecil. Seketika itu, ada banyak hal yang berkecamuk
dalam batin Kartini. Ia memutuskan untuk menghampiri wanita-wanita tersebut.
Soematri : Ada apa, Kartini?
Kartini : Ayo kita hampiri wanita-wanita yang
sedang duduk di bale bambu itu.
Roekmini :
Apa yang mengganggu pikiranmu, Kartini?
Kartini :
Ada beberapa hal yang ingin aku ketahui, Roekmini. Lagipula, tak apa bila
sesekali aku berbicara dengan penduduk pribumi lainnya. (menghampiri para
wanita, menyapa)
Wanita 1 :
Apakah kalian putri-putri Adipati Ario Sosroningrat?
Kardinah :
Ya. Bagaimana ibu bisa tahu?
Wanita 1 :
Tentu saja, beliau adalah Bupati Jepara. Kami beberapa kali melihat kalian
bersama dengan Bapak Bupati. Mengapa kalian pergi tanpa pengawalan? Apa kalian
tak dipingit?
Kartini :
Bu, bolehkah saya bertanya?
Wanita 2 : (mengangguk) Tentu boleh.
Kartini :
Apakah memang dipingit adalah hal yang harus dilakukan oleh seluruh masyarakat
pribumi?
Wanita 1 :
Tentu saja. Ini adalah adat sejak jaman nenek moyang kita. Lagipula, dipingit
membuat kita bisa menjaga diri dan terus berhati-hati terhadap kaum lelaki yang
bukan muhrim kita hingga kita menikah.
Kartini :
Lalu, apakah ibu bersekolah?
Wanita 2 :
Kami hanya rakyat biasa, sejak kecil kami tidak sekolah. Yang dapat bersekolah
hanya rakyat Belanda dan kaum pribumi yang merupakan anak pejabat. Selain itu
tidak ada yang bersekolah, terkecuali laki-laki. Lagipula, bukannya wanita
memang tak perlu bersekolah? Suatu hari, saat mereka sudah menikah, mereka akan
kembali melakukan hal yang seharusnya dilakukan oleh wanita. Seperti kami.
***
Scene
5
Percakapannya
dengan wanita-wanita pribumi di bale bambu terus mengusik hatinya. Hanya rakyat
Belanda yang boleh bersekolah? Hanya kaum pribumi keturunan pejabat yang boleh
sekolah? Hanya lelaki yang dapat melanjutkan sekolahnya hingga ke jenjang
tertinggi? Kartini tak habis pikir. Mengapa wanita harus tertinggal? Mengapa
hanya lelaki yang boleh bebas melakukan apapun—bersekolah, menyampaikan
pendapat, bekerja? Bagi Kartini, untuk apa wanita diciptakan jika selalu
ditindas dan dibedakan dari kaum lelaki? Jika selalu berbaris paling belakang,
dihalangi oleh para lelaki. Apa salah wanita?
Van Kol :
Bagaimana kabarmu, Kartini?
Kartini :
Tak perlu tanya bagaimana kabarku, Van Kol. Kau tahu aku, kau pasti mengerti
(tersenyum)
Van Kol :
Ya, aku mendengar beberapa hal dari Rosa dan Stella. Aku turut prihatin
mendengarnya.
Annie :
(memeluk Kartini) Kau pasti bisa bertahan, Kartini.
Kartini :
Terimakasih, Annie. Sebenarnya aku ingin mengajak kalian bertukar pendapat.
Annie :
Mengenai apa?
Kartini :
Beberapa hari yang lalu, aku pergi berkeliling Jepara. Aku sempat berbicara dengan
beberapa wanita pribumi. Mereka tidak ada yang bersekolah, tak pernah sekalipun
menimba ilmu.
Rosa :
Benarkah?
Kartini :
(mengangguk) Hanya orang Belanda dan anak pejabat yang boleh bersekolah. Dan
hanya kaum lelaki yang boleh mengenyam pendidikan hingga tingkat tertinggi.
Apakah kalian bisa merasakan apa yang kurasakan? Mengapa kaum perempuan selalu
terbelakang?
Stella :
Tidak, Kartini. Adat-lah yang membuatnya terlihat salah. Aku tak bermaksud
menyalahkan adat tradisi kaum pribumi, tapi memang kau benar, wanita berhak
bersekolah juga.
Annie :
Lalu, apa yang akan kau lakukan, Kartini?
Kartini :
Annie, aku ingin merubah semuanya. Aku tak bermaksud memberontak pada adat,
tapi aku rasa semua ini salah. Aku ingin wanita bisa bersekolah. Aku akan
membuat semua itu terjadi. Aku akan membangun sekolah untuk kaum perempuan.
Van Kol :
Tapi bagaimana caranya, Kartini? Kau dipingit. Kecuali jika kau sudah bebas
dari pingitan. Dan yang kau rencanakan adalah misi yang sangat besar. Kau akan
mengubah adat, Kartini.
Kartini :
Bila aku tidak mengubahnya, sampai kapan perempuan pribumi akan terus
tertindas, akan terus dikelilingi kebodohan dan kegelapan?
Annie :
Kau benar, Kartini. Kau adalah perempuan pribumi yang memiliki kecerdasan dan
kami yakin kau bisa merubah semuanya.
***
Scene 6
Kartini
tak pernah berhenti belajar dan mencari cara untuk merubah semuanya. Ia ingin
menerangi kaum pribumi dengan pengetahuan, terutama pada kaum wanita yang
selalu terbelakang.
Kartini : Rosa! Dengan siapa kau kesini?
Apakah bersama sahabat-sahabat yang lain?
Rosa : (menggeleng) Tidak, Kartini. Aku
bersama kedua orangtuaku.
Kartini :
Benarkah? Aku ingin menemui orangtuamu, Rosa. Sudah lama aku tak bertemu Tuan
dan Nyonya Abendanon.
Rosa :
Sebentar, Kartini. Ada yang ingin aku bicarakan denganmu. (menggenggam dua
tangan Kartini) Aku harus pergi, Kartini.
Kartini :
(terhenyak) Apa maksudmu, Rosa?
Rosa :
Aku akan melanjutkan sekolahku di Belanda. Aku sudah lulus dan aku harus meraih
jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Kartini :
Bagaimana dengan Stella, Annie dan Van Kol?
Rosa :
Mereka juga akan pergi, kami akan kembali ke Belanda.
Kartini :
(menangis, menutup mulutnya dengan salah satu telapak tangan)
Rosa :
(merangkul Kartini) Sebenarnya kami ingin mengajakmu ke Belanda. Kami ingin kau
meraih cita-citamu. Kami ingin kau melanjutkan sekolahmu, Kartini. Tapi, kami
sadar kau tak akan diizinkan untuk pergi.
Kartini :
Aku… aku tak bisa berpisah begitu saja dengan kalian, Rosa.
Rosa :
Kita masih bisa berkirim surat, Kartini. Yakinlah, aku, Annie, Stella, Van Kol,
akan selalu membalas suratmu, akan selalu mengabarkan semua hal yang terjadi di
dunia luar.
***
Scene 7
Ditemani
tiga pengawal dan saudaranya, R.M Boesono, Kartini pergi ke dermaga, melepas
kepergian sahabat-sahabatnya yang kembali ke kampung halaman mereka untuk
mengenyam pendidikan, Belanda.
Pengawal 1 : Apa yang membuat nona bersedih?
Kartini :
Sahabat-sahabatku akan pergi. Mereka akan melanjutkan sekolah. Sedangkan aku,
aku akan tetap disini, terbelakang, bersama dengan perempuan pribumi lainnya
yang tak bersekolah.
Pengawal 2 : Bukankah nona pernah berkata akan merubah semuanya?
Kartini :
Tentu saja, itu mimpiku. Hanya saja, aku tak bisa memungkiri kalau aku ingin
mengenyam pendidikan yang lebih tinggi.
Pengawal 3 : Bersabarlah, nona. Kami yakin suatu hari nanti semua mimpi itu
akan terwujud.
Boesono :
Adikku, janganlah kau bersedih. Ingat, kau punya mimpi yang harus diwujudkan.
Keluarga
Abendanon dan para sahabat sudah berdiri menunggu kedatangan Kartini. Mereka
sadar kalau ini adalah sebuah perpisahan dan entah kapan mereka bisa bertemu
lagi. Tak ada yang tahu. Yang pasti, dalam hati masing-masing, mereka berjanji
untuk tetap saling berkomunikasi.
Kartini :
Tuan dan Nyonya Abendanon (bersalaman, memeluk Nyonya Abendanon)
Ny. Abend : Kartini, senang sekali bisa kembali bertemu denganmu disaat-saat
terakhir seperti ini.
Tn. Abend : Kartini, kami sering mendengar beberapa cerita tentangmu dari
Rosa. Dia menceritakan semua mimpimu dan kami berdua menyadari betapa mulianya
mimpimu itu. Kami yakin, suatu saat kau akan membuat penduduk pribumi bersinar
terang dengan pengetahuan, terutama kaum wanita.
Kartini :
Terimakasih, Tuan dan Nyonya Abendanon. Itu memang mimpi saya, membuat kaum
perempuan bisa bersekolah.
Ny. Abend : Kau bisa mengirimkann suratmu pada kami, kau bisa menceritakan
semua keluh kesahmu, Kartini. Yakinlah, kami siap mendengarkan, bahkan membantu
sebisa kami.
Kartini :
Tentu, Nyonya. Sekali lagi, terimakasih.
Van Kol :
Kartini, teruslah berusaha agar mimpimu terwujud. Agar kaum pribumi, terutama
kaum perempuan, tidak lagi terbelakang. Berusahalah, agar semua orang bisa
sekolah.
Annie :
Kami juga akan memberi informasi apabila nanti ada beasiswa yang cocok untukmu,
Kartini.
Rosa :
Ya, kami dengar ada beasiswa kedokteran di Belanda. Saat kami sudah tiba
disana, kami akan segera mencari informasi untukmu.
Kartini :
Benarkah? Terimakasih. Aku tak akan pernah melupakan kebaikan kalian.
Stella :
Begitu juga dengan kami, Kartini. Kami tak akan pernah melupakan kebaikanmu,
ketulusanmu, dan perjuanganmu demi penduduk pribumi.
***
Scene 8
Hari-hari
dilewati oleh Kartini dengan lebih bersemangat. Ia selalu berkirim surat dengan
sahabat-sahabatnya, termasuk Tuan dan Nyonya Abendanon. Ada banyak hal yang
diceritakan oleh sahabat-sahabatnya, termasuk melanjutkan pendidikan melalui
beasiswa kedokteran di Belanda untuk Kartini.
Kartini :
Bagaimana pendapat ibu mengenai beasiswa kedokteran itu, bu?
Ngasirah :
Trinil, untuk apa kau melanjutkan sekolahmu? Ibu tahu, melanjutkan sekolah
adalah keinginanmu. Ditambah lagi melalui beasiswa, yang artinya ibu dan bapak
tidak akan menanggung uang pembayaran. Tapi nak, kau adalah wanita. Kau sudah
dewasa.
Kartini :
Bagaimana maksud Ibu?
Ngasirah :
Mengapa kau tidak menikah saja, Trinil?
Kartini :
Ibu, bukankah Ibu tahu Trinil memiliki mimpi untuk membuat kaum perempuan
bersekolah, untuk membuat penduduk pribumi mengenyam pendidikan? Jika Trinil
menikah, mimpi itu tak akan terwujud, bu. Pernikahan itu hanya akan menghambat
segalanya.
Ngasirah :
Trinil, kau adalah wanita! Umurmu sudah cukup, bahkan biasanya tak ada wanita
berumur 24 tahun yang belum menikah di Jepara. Kau harus sadari itu, Trinil.
Sudah saatnya kau berhenti dipingit!
Kartini :
Berhenti dipingit, bu?
Ngasirah :
Tentu. Apabila kau menikah, kau akan berhenti dipingit, anakku. Karena
sesungguhnya pingitan itu untuk melindungimu, melindungi kaum perempuan. Dan
kau harus tahu, sudah ada seseorang yang ingin meminangmu.
Kartini :
Siapa lelaki tersebut, Ibu?
Ngasirah :
Dia adalah Raden Mas Adipati Ario Singgih Djojo Adiningrat, Bupati Rembang. Dia
memang sudah pernah menikah tiga kali, namun Ibu yakin dia orang yang tepat
untukmu.
Kartini :
Trinil ingin bertemu dengannya dulu, bu. Ada beberapa hal yang harus
dipertimbangkan.
***
Scene
9
Kartini,
kedua orangtuanya, Kardinah, Panji, dan Boesono berdiri diambang pintu,
menunggu kehadiran sosok yang sudah ditunggu-tunggu. Jantung Kartini berdegup
kencang, pikirannya kacau, ia masih belum siap. Bagaimana bila lelaki itu akan
menghambat mimpinya? Bagaimana bila lelaki itu tak sebaik yang dikatakan
ibunya?
Ario Sosro : Selamat datang, Adipati Ario Singgih.
Ario Singgih : (tersenyum, bersalaman)
Ngasirah :
Mari, silahkan duduk.
Ario Singgih : Tentunya, keluarga Adipati Ario Sosroningrat sudah mengetahui
maksud kedatangan saya ini, untuk bertemu dengan Trinil kecil. (terkekeh,
diikuti anggota keluarga)
Ario Sosro : Ya, ya, ya. Mohon maaf sebelumnya Adipati Ario Singgih,
semuanya bergantung pada Kartini bagaimana jawabannya. Kami membiarkan ia
mengambil keputusannya sendiri.
Ario Singgih : Lalu, bagaimana jawaban Kartini sendiri?
Kartini :
Bapak, ibu, boleh Trinil berbicara berdua saja dengan Raden Mas Adipati Ario
Singgih Djojo Adiningrat?
Kedua
orangtua dan saudara-saudara Kartini meninggalkan ruangan.
Kartini :
Ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan.
Ario Singgih : Tentu. Apakah itu, Kartini?
Kartini :
Saya memiliki mimpi untuk membangun sekolah bagi kaum pribumi, khususnya
perempuan. Setidaknya mereka tidak berada dalam keterbelakangan. Saya ingin
wanita disamaratakan dengan lelaki. Saya ingin wanita tidak lagi ditindas dan
selalu menjadi kaum lemah. Bagaimana menurut Adipati?
Ario Singgih : Sungguh, bagi saya hal itu sangat mulia, Kartini. Saya sendiri
sempat berpikir mengenai hal tersebut, namun beberapa hal dan pertimbangan
membuat saya belum melaksanakannya. Apabila Kartini ingin melakukannya, lakukan
saja. Saya selalu siap memberi dukungan, apapun itu.
Saat
itu, Kartini tahu jawaban apa yang akan ia berikan pada R.M Adipati Ario
Singgih Djojo Adiningrat. Segera saja, ia mengirimkan surat pada
sahabat-sahabatnya, membatalkan beasiswa kedokteran yang awalnya ingin ia
ambil.
Pada
tanggal 12 November 1903, Kartini menikah dengan Bupati Rembang. Ia segera
membuka sebuah sekolah untuk perempuan pribumi. Ada beberapa kelompok yang
tidak setuju, namun Kartini tetap berusaha dan yakin kalau apa yang ia lakukan
akan menciptakan hal yang lebih baik dimasa depan. Sekolah itu hanya sekolah sederhana,
didalamnya terdapat beberapa murid perempuan. Kartini sendiri yang terjun
sebagai guru, mengajarkan anak-anak tersebut segala pengetahuan yang ia kuasai.
***
Scene
10
Pak Pos :
Ibu Kartini, ini majalah-majalahnya sudah sampai. (memberi majalah Belanda)
Kartini :
Oh, terimakasih, pak. Bisa saya titip surat ini untuk dikirimkan, pak?
Pak Pos :
Tentu saja, bu. Seperti biasa, bukan?
Kartini :
(tertawa) Terimakasih sekali ya, Pak.
Pak Pos :
Iya, bu. Untuk sahabat-sahabat Ibu di Belanda?
Kartini :
Tentu saja, Pak. Itu untuk keluarga Abendanon.
Pak Pos :
Kalau begitu, saya permisi dulu, Bu Kartini.
Murid
1 : Ibu! Bu Kartini!
Kartini : Ya, ada apa?
Murid 1 :
Bu, saya sudah membuat sebuah puisi. Maukah ibu mendengar saya membacakannya?
Kartini :
Tentu saja.
Murid
1 membacakan puisi.
Kartini :
Bagus sekali. Anak pintar. (mengelus rambut Murid 1)
Murid 2 :
Bu, saya sudah bisa menghitung penjumlahan dan pengurangan dengan cukup lancar.
Ibu mau melihat?
Murid 3 :
Saya juga, bu! Saya juga bisa.
Kartini :
(tersenyum lebar) Ayo kita masuk ke kelas. Kita belajar lagi. Kalian memang
anak-anak yang pintar.
***
Scene
11
Kartini
terus mengajar di sekolah kecilnya hingga pada akhirnya ia hamil anak pertama
dari pernikahannya dengan R.M Adipati Ario Singgih. Memasuki bulan ke-7
kehamilannya, Kartini lebih banyak beristirahat dan mempercayai adiknya untuk
mengajar murid-muridnya.
Murid 4 :
Bagaimana kabar ibu?
Kartini :
Ibu sehat, nak. Kalian harus tetap rajin belajar, ya?
Murid 5 :
Tentu saja, bu. Oh ya, ini kami bawakan buah-buahan untuk ibu.
Kartini :
Terimakasih, ya. Apa yang kalian pelajari di sekolah tadi?
Murid 6 :
Kami diajarkan perkalian oleh Ibu Soematri.
Kartini :
Baiklah, ibu yakin kalian pasti bisa, kalian anak-anak yang cerdas, kan.
Memasuki
bulan ke-9 kehamilannya, Kartini lebih banyak berbaring. Terkadang ia
menghabiskan waktunya dengan membaca buku atau membalas surat dari
sahabat-sahabatnya. Hingga akhirnya hari itu tiba, hari kelahiran anak
pertamanya. Seluruh keluarga berkumpul dikediaman Adipati Ario Singgih,
menunggu kemunculan malaikat kecil.
Bidan :
Tuan, nyonya sudah berhasil melahirkan anak pertama. Anak yang tampan, tuan.
Ario Singgih : Laki-laki? Alhamdulillah. Boleh saya menemuinya sekarang?
Bidan :
Ya, tuan. Tapi kondisi nyonya sedikit lemah. Sepertinya nyonya harus banyak
beristirahat.
Ario Singgih : Bagaimana keadaanmu, Kartini?
Kartini :
(sambil menggendong bayi) Baik-baik saja. Ini anak kita, laki-laki. Kelak dia
pasti akan menjadi lelaki tangguh.
Ario Sosro : Siapakah namanya? Apakah namanya sudah ditentukan?
Kartini :
Tentu saja, pak. Namanya Raden Mas Soesalit.
Ario Singgih : Biarkan aku menggendong putraku sebentar. (menggendong sang bayi
dengan hati-hati, menciumnya)
Roekmini :
Kemenakanku, sangat tampan. Aku, Soematri dan Kardinah pasti akan membantumu
mengurusnya, Kartini.
Kartini :
Terimakasih, adik-adikku.
Tanggal
17 september 1904, beberapa hari setelah kelahiran R.M Soesalit, saat Kartini
baru saja ingin menggerakkan pena diatas kertas, tiba-tiba saja tubuhnya melemah.
Dibantu desiran angin yang masuk melalui jendela, kertas yang ia pegang
terjatuh dari tangannya. Mata yang bersinar itu perlahan-lahan menutup dan
tubuh yang penuh pancaran cahaya tersebut terdiam. Kaku. Hari itu, R.A Kartini
menutup hidupnya. Setelah perjuangan panjang, emansipasi wanita, dan berbagai
mimpi yang ia coba wujudkan, akhirnya ia menutup usia. Kelak, berkat
perjuangannya, masyarakat pribumi terutama wanita, hidup lebih baik dan tak
lagi ditindas. Seluruh rakyat pribumi dapat bersekolah, siapapun itu. Berkat
perjuangan R.A Kartini.
Drama
ditutup dengan lagu Ibu Kita Kartini.
Comments
Post a Comment