Malam Terkelam
Peluh membasahi wajahnya. Kakinya berlari
kencang dengan nafas memburu dan sesekali matanya melirik kebelakang. Cahaya
kecil yang berasal dari seseorang dibelakangnya masih ada. Ia benar-benar
dikejar! Dengan cekatan, ia memasuki gang-gang sempit yang ia temui, berusaha
mencari titik tergelap hingga tak ditemukan oleh sosok misterius itu lagi.
Namun, hingga kesekian gang sempit yang ia masuki, ia masih saja ditemukan.
Sosok itu masih berada beberapa meter dibelakangnya.
Hingga
disalah satu gang ia berhenti dan bersembunyi dibalik tiang listrik. Ia
mengintip keujung gang kemudian bernafas lega karena sepertinya sosok itu sudah
tidak ada. Beberapa menit ia menunggu dan kali ini ia benar-benar yakin sudah
tidak ada orang yang mengejarnya lagi. Sudah
saatnya pulang, Ray, batinnya. Ia kembali melanjutkan perjalanan pulang
melalui gang itu dengan langkah yang diusahakan tak ada suara.
Ray
bernafas lega saat melihat rumah kecilnya yang berdiri kokoh diujung jalan. Ia
mempercepat langkahnya dan segera mengetuk pintu dengan kencang. “Ibu! Ibu!”
teriaknya gusar. Ia melihat berkeliling, memastikan tidak ada lagi orang yang
mengawasinya. Kemudian pintu terbuka dan rasanya segala beban ditubuhnya
terlepas sudah. Sang ibu berdiri dihadapannya dengan tatapan heran namun ia
memutuskan untuk tidak mengatakan apa-apa, ia tidak mau membuat ibunya cemas.
“Assalamualaikum, bu,” ucap Ray sambil
mencium tangan Ibunya. Ia segera menutup pintu dan menguncinya.
“Waalaikumsalam, Ray. Kamu kenapa ngos-ngosan begitu? Habis lari-lari?”
tanya Ibu sambil menyeka keringat diwajah Ray dengan saputangan. Ray menunduk
dan menggeleng, ia tidak bisa menceritakan kejadian tadi pada ibunya.
“Tadi
Ray lewat jalan lain, bu. Jalan biasa sedang ditutup karena ada pengaspalan.
Jadi Ray berjalan lumayan jauh,” jawab Ray tanpa menatap mata ibunya. Ia bukan
orang yang terbiasa berbohong pada orangtua, maka sebisa mungkin ia ingin
terlihat biasa saja.
“Ya
sudah, kamu makan dulu, Ray. Setelah itu jangan lupa sholat kemudian segera
tidur. Besok ibu bangunkan jam setengah empat subuh seperti biasa.”
Ray
mengangguk. “Ya, bu. Ray makan dulu,” katanya sambil berjalan meninggalkan
ibunya. Pikirannya masih berputar tak karuan karena kejadian tadi. Sejujurnya
Ray ketakutan, apalah artinya keberanian seorang anak laki-laki kelas 6 SD
melawan lelaki misterius yang sepertinya sudah dewasa.
Ray
mengigit bibir. Apa mungkin ia tak usah pergi ke musholla untuk beberapa hari kedepan? Ia takut dikejar-kejar lagi.
Semua yang terjadi dijalan pulang tadi membuatnya ingin menangis dan berteriak
histeris.
***
“Dan
begitulah ceritanya, Ga,” kata Ray. Ia menatap Ega, temannya, dengan tatapan
paling menyedihkan yang pernah ada. Ia kalut sekali, bingung apa yang harus
dilakukan.
Ega
mengangguk kecil sambil mengusap dagunya, persis seperti detektif yang sedang
mempelajari suatu kasus. “Kamu yakin, Ray, orang itu mengejar kamu?”
“Yakin,
Ga! Kan sudah aku ceritakan. Seandainya dia nggak mengejarku, kenapa dia ikut
berlari saat aku berlari? Kenapa dia mengikutiku melewati jalan yang aku
lalui?”
“Yaa…”
Ega menopang dagunya dengan telapak tangan, matanya menerawang. “Begini saja
Ray, malam ini kamu coba lewat jalan itu lagi dan pastikan apa ada orang yang
mengejarmu. Toh, kita nggak mungkin lewat jalan biasa, masih diaspal.”
Ray
segera menggelengkan kepalanya. “Malam ini aku nggak akan pergi, Ga! Sampai
jalan yang biasa kita lewati selesai diaspal, aku baru akan ngaji ke musholla lagi!”
“Bukan begitu, Ray. Memangnya kamu nggak penasaran siapa orang yang mengejar-ngejar kamu itu? Lebih baik kita cari tahu siapa orang itu dan hidupmu akan tenang lagi,” Ega memajukan wajahnya beberapa centi kehadapan Ray. “Dan kamu nggak akan sendirian, Ray. Kami akan menunggu disalah satu gang disana. Nanti kamu susul kami kesana dan kita tangkap sosok misterius itu bersama!”
Ray
terdiam selama beberapa saat, berusaha menimang ide yang dilontarkan Ega.
Sebenarnya tak salah kalau Ray bercerita pada Ega, temannya satu itu adalah
salah satu penggila film detektif. Ia yakin apa yang dilontarkan Ega pasti
sudah dipikirkan dengan matang. “Baiklah. Tapi bisa nggak kalau aku pulang
berdua? Kayaknya nyaliku ciut kalau sendirian, Ga. Kamu tahu aku bukan anak
pemberani sepertimu,” ucap Ray. Dalam hati ia bertekad setelah ini akan
mengikuti kursus bela diri, seperti Ega dan beberapa teman lainnya.
Ega kembali berpikir hingga tak lama kemudian
mengangguk setuju. “Baik, malam ini kamu susul aku dan teman-teman lainnya di Gang
Seruling. Kamu tahu, kan? Nanti ada Surya yang menemanimu. Setuju, Ray?”
“Setuju,”
jawab Ray mantap. Biarlah, semoga saja tidak terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan malam ini. Toh, ajal ada di tangan Tuhan.
Ega
memanggil beberapa teman akrab mereka yang sekaligus mengaji di musholla yang sama. Ada Surya, Bram, Ken
dan Heru yang bisa dipastikan cukup lihai dalam hal bela diri. Setelah
bercerita mengenai kejadian yang dialami Ray dan apa yang akan dilakukan,
mereka berempat segera mengangguk setuju.
Ega
menundukkan kepala dan memelankan suaranya, “Oke, kalau begitu, begini
rencananya…”
***
Ray
dan Surya berjalan dengan langkah pelan namun saling waspada. Mereka berusaha
menajamkan telinga kalau saja ada bunyi langkah kaki yang mengikuti mereka.
Malam sebelumnya, Ray mulai merasakan ada yang mengikutinya saat tiba di gang
pertama yang ia temui, dan tempat itu hanya tinggal beberapa meter dari tempat
mereka berdiri.
“Kamu
yakin rencana kita bakal berhasil, Sur?” bisik Ray dengan tatapan lurus
kedepan.
Surya
menggeleng. “Entahlah, sebenarnya aku pikir ini pekerjaan nekat, Ray. Tapi, gak
ada salahnya kan kalau kita beraksi?”
Ray
menghela nafas dan melirik Surya dengan senyum kecil. “Kalian yang beraksi,
bukan aku, Sur.”
“Yeaah,
tapi kamu victim-nya, kan?” Surya
menepuk bahu Ray dan balas tersenyum. “Tenang, Ray. Kami akan berusaha bantu
kamu.”
Ray
dan Surya terus berjalan hingga sampai di gang kedua, namun tidak ada
tanda-tanda akan kedatangan seseorang. Gang Seruling adalah gang keempat dimana
Ega dan teman-teman lainnya menunggu. Kini Ray mulai gelisah, jangan-jangan
sosok itu mengetahui rencana mereka, atau sosok itu mungkin bukanlah orang
jahat, mungkin saja hanya seseorang yang kebetulan jalur perjalanannya sama
dengan Ray. Ray hanya bisa berdoa yang terjadi adalah pilihan kedua.
Kini
mereka tiba di gang ketiga dan masih belum ada tanda-tanda akan adanya
seseorang. Mereka berdua terus berjalan dibawah terang lampu jalan seadanya dan
melewati barisan rumah mungil nan padat. Rumah-rumah itu sesungguhnya masih
terang dengan lampu-lampu yang dinyalakan, hanya saja kebanyakan rumah
menggunakan lampu kuning sederhana sehingga tidak begitu cukup menyemarakkan
daerah tersebut.
Ray
dan Surya berhenti di gang terakhir, tepatnya Gang Seruling. Surya mengetukkan
tiang lampu jalan dengan batu yang ia pegang, sebuah tanda agar teman-teman
keluar dari persembunyian. Tak lama kemudian Ega dan tiga teman lainnya muncul
dengan wajah penuh tanya.
“Tidak
ada siapa-siapa sepanjang jalan,” ucap Surya, seolah-olah menjawab segala
pertanyaan yang ada dibenak Ega, Heru, Ken dan Bram.
Mereka
semua terdiam sesaat, sibuk dengan pikiran masing-masing. Tiba-tiba Surya
berkata, “Ayo, kita ke rumah Ray! Bisa saja orang itu disana!”
Tanpa
berkata-kata, mereka semua berlari kencang menuju rumah Ray. Entah apa yang ada
dibenak Surya hingga tiba-tiba ia berpikiran begitu. Akhirnya, mereka tiba diujung jalan
yang menjadi tempat tinggal Ray.
Mereka
berjalan dan Ray membuka pintu. Disanalah mereka terpaku, sesosok lelaki
bertubuh tinggi tegak berdiri membelakangi mereka. Ray segera melihat
berkeliling dengan waspada dan membatin, dimana ibunya?
“Siapa
kamu!” bentak Surya.
Lelaki
itu berbalik dan diam. Ia memakai kacamata hitam yang terlihat sangat tidak normal
karena hari sudah malam, masker juga menutupi setengah wajahnya. Lelaki itu
menggunakan mantel coklat yang sepertinya bukan benda usang. Perlahan, ia
mengangkat lengannya dan membuka kacamata serta masker diwajahnya.
Ray
terbelalak. Wajah ini…. ia sangat mengenal wajah ini! Wajah yang selama ini
menjadi bagian terkelam dihidup ibunya, wajah yang membuat Ray memikirkannya
setiap hari, sosok yang selama ini membuat hidupnya tak sempurna dan ia benci
itu.
“Bapak?”
ucap Ray parau.
Lelaki
itu terbelalak pula, seakan terkejut karena anak laki-laki dihadapannya
mengenalinya. Ia berjalan selangkah dan mengulurkan tangannya. Ray menatap
lengan kokoh dan wajah itu bergantian. Sekali lagi ia berucap, “Ini… bapak?”
“Ya,
Ray,” tiba-tiba lelaki itu bersuara.
Detik
itu juga semuanya gelap. Ray tak sadarkan diri.
---
Written by: Naura Hafiza A
Harrah's Philadelphia Casino - Mapyro
ReplyDeleteFind your perfect getaway 제주 출장샵 or 여주 출장안마 find yourself at 성남 출장샵 one of the casino's 2,000 slot machines, 춘천 출장안마 blackjack, roulette and video 인천광역 출장샵 poker rooms.