Posts

Showing posts with the label love

Sajak Altruisme

Aku ingin mengagumimu pada bulan yang menjadi sahabatku Aku ingin menyanjungmu, hingga waktu merasa penat karena semua adalah tentangmu Aku tak akan pernah malu untuk mengakui bahwa aku memuja pesonamu Diriku, mungkin tak akan pernah sempurna jika bukan bersamamu Biar kudengar bisikan dari kejauhan yang merasa berhak untuk merebut keajaiban  Tapi, kamu tetaplah kamu yang memabukkan sehingga aku tak mungkin menjauhi belaian Bersediakah kamu kuceritakan pada seisi semesta?  Bolehkah kubuka segala keindahanmu yang tercipta tanpa cela? Kan kubuat seluruh makhluk ikut bercerita tentang indahnya dirimu, pada duka hingga ceria (oleh: Naura Hafiza A)

Berapa Lama Waktu Untuk Menyembuhkan Hati?

 Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menyembuhkan hati yang terluka?  Aku masih ingat bagaimana rasa sakit itu menggerogoti seluruh tubuhku. Bagaimana lagu-lagu tertentu membuat dadaku berdenyut kala terdengar nada-nada itu. Bagaimana sepanjang jalan terasa lama dan menyakitkan karena penuh dengan kenangan.  Aku ingat bagaimana menyedihkannya diriku ketika harus mengendarai mobil sambil menangis. Terkadang menimbulkan tanya pada pengendara lain yang menyadari keadaanku. Bagaimana pandanganku memudar hingga sesekali kuhentikan laju karena sudah tak sanggup berkendara. Sesak. Seakan berada dalam sebuah kotak beroda tanpa celah sedikitpun.  Kukira, ini akan selamanya. Kukira, sakit ini tak ada ujungnya.  Nyatanya aku salah.  Aku sudah bisa menikmati makanan dan minuman yang dulu terasa hambar dan menolak masuk ke dalam perutku. Aku sudah bisa menikmati jalan-jalan yang kulewati. Aku sudah bisa menyanyikan lagu-lagu yang terasa menyakitkan itu. Aku sudah bisa bercanda, tersenyum, terta

Kepada Tuan yang Istimewa

Kepada Tuan, yang memberikan kebahagiaan.  Tuan, tahukah kau, bahwa hidupku sungguh terpuruk selama hampir delapan bulan kemarin? Tuan, aku bahkan tidak bisa mendefinisikan bagaimana hancurnya aku setiap hari. Setiap pagi, aku marah karena Tuhan masih menghidupkanku. Aku ingin mati saja. Setiap pagi, aku terbangun dengan kejutan tanpa sebab lalu segera menyambar ponselku, berharap akan ada pesan atau kabar baik atau apapun itu dari seseorang yang kutunggu--yang telah meninggalkanku. Tapi tidak ada, lalu aku menangis dan hancur lebih parah dari hari sebelumnya. Tuan, tahukah kau, bahwa aku sangat kesulitan untuk sekedar berkomunikasi dengan orang-orang, untuk sekedar tersenyum dan tertawa, atau mengobrol basa-basi. Sulit sekali, sulit. Bahkan, kalimat "merasa sendiri di tengah keramaian" memang nyata terjadi di hidupku saat itu. Pada akhirnya, aku memilih untuk menyimpan semuanya, hanya mau berkomunikasi dengan orang-orang tertentu, dan menarik diri. Tuan, tahuka

"Resah"

RESAH (Naura Hafiza Ainayyah) Ada resah yang tak terdefinisikan Tiap langkah kulihat kamu Namun jauh, aku tak mampu Ada resah yang menggelora Kupikir aku 'tlah lupa Namun, satu waktu hadirmu hancur sudah pertahananku Bolehkah kutumpahkan segala resah yang ingin kubakar? Biarkan aku menguburnya bersama bunga tanpa gelisah Bolehkah kutumpahkan kala hujan mengguyur kota? Di belakang roda hitam tangan mengerat genggaman kuat seraya sungai di pelupuk menderas Ada resah yang menuntut menyadari hatinya tak lagi terpaut Kala senja ia mematut Tak pelak pagi pun mematut Bolehkah aku resah? Kala tiada yang kucinta Bolehkah aku gelisah? Kumohon, kembalilah Ungaran, 16 Nov 2018, 9PM untuk J.

Gaze Part.3

Baca sebelumnya : Gaze Part.2 Part 3 “Nay, aku kesana dulu, ya.” “Oke, bentar lagi aku nyusul, Rin,” jawabku kepada Rina. Rina berjalan menuju tempat makan yang berada tepat disamping lembaga kursusku. Bisa dibilang seperti warung makan, disini tidak ada rumah makan; kebanyakan rumah kecil atau pondok yang disulap menjadi tempat makan berukuran lebih besar dari warung makan dengan menu yang lebih bervariasi. Rina adalah temanku satu sekolah. Aku memang tidak sendirian pergi kesini, tepatnya bersama tiga teman; Rina salah satunya dan dua diantaranya laki-laki. Biasanya kami berempat berkumpul hanya saat di kelas atau kadang-kadang saat kami memutuskan untuk makan bersama. Selain dari itu, aku dan Rina mengerjakan apapun bersama teman satu dorm, begitu juga dengan mereka berdua. Rina adalah alasan mengapa tadi malam temanku yang lain tiba-tiba memotong pembicaraanku dengan si kacamata. Sebenarnya bukan karena sedang tidak enak badan, tapi karena mood Rina yang memburuk. Seja

Gaze (Part 2)

Baca sebelumnya: Gaze part 1 . ~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~ Karena datang di detik-detik terakhir kelas dimulai, aku dan beberapa temanku lagi-lagi harus duduk dibangku paling bawah sekaligus paling depan. Bangku di kelas multimedia memang disusun seperti tangga disisi kanan dan kiri—‘tangga’ di kanan untuk para cewek dan ‘tangga’ di kiri untuk para cowok—dengan proyektor besar disisi utara ruangan berukuran sedang tersebut. Kelas hari ini dibuka dengan satu per satu murid disana maju untuk mempresentasikan film kemarin. Aku bernafas lega saat mendengar newcomers tidak diikutsertakan untuk presentasi hari ini. Satu per satu telah maju, giliran selanjutnya tergantung siapa nama yang disebutkan oleh presentator sebelumnya. Tiba-tiba si pemberi-pena-kemarin berdiri karena mendapat giliran untuk maju kedepan. Oh, berarti namanya barusan disebutkan, tapi sepertinya aku tidak ingat namanya siapa… atau tepatnya tidak mendengar. Dan aku baru sadar kalau dia duduk tak jauh dariku seperti

"Gaze" (Part.1)

Lagi-lagi mata kami tak sengaja bertemu. Aku tidak tahu dia siapa, aku tidak mengenalnya sama sekali dan ini kali pertama aku melihatnya. Tadi kami tak sengaja saling bertatapan; tapi tidak sampai sedetik. Dan ini kali kedua kami saling bertatapan. Dia duduk didepanku—tidak tepat didepanku, sih, tapi jaraknya tak begitu jauh. Saat ini kami sedang mengikuti kelas multimedia disalah satu lembaga bahasa yang terdapat di Kampung Inggris, Pare—aku menghabiskan waktu disana selama liburan sekolah. Tapi yang jadi masalah, ini pertama kalinya aku dan beberapa temanku mengikuti kelas multimedia—yang diadakan setiap malam hari—dan kami sama sekali tidak tahu kalau kami membutuhkan kertas dan pena. Kertas dan pena… eh, atau pensil—atau apapun itu yang bisa digunakan untuk menulis. Dan disinilah aku, si murid baru yang tidak punya benda-untuk-menulis. Tadinya aku ingin meminjam, tapi betapa kasihannya aku karena tidak menemukan pinjaman pena. Yap, hal inilah yang menyebabkan pandanganku te

Menunggumu :)

Aku melihatmu. Sore kemarin. Lewat begitu saja disampingku. Dan aku baru menyadarinya saat kamu sudah jauh didepanku. Aku hanya melihat punggungmu, padahal aku berharap melihat wajahmu—terutama senyummu. Bahkan, dari belakang pun aku tahu kalau itu kamu. Kamu itu… sosok yang sudah terekam jelas dalam otakku.  Tapi, apa kamu sadar akan keberadaanku? Mungkin ya, mungkin tidak. Entahlah. Aku hanya berharap kamu memang tidak melihatku. Ya, itu caraku supaya tidak kecewa. Toh, beberapa kali tak sengaja bertemu denganmu tapi kamu tak pernah sekalipun melihatku. Padahal baru saja siang tadi aku mengasihani diriku yang tak bisa move-on darimu. Baru saja aku membuka akun socmed-mu. Baru saja aku mengingat semua yang terjadi di November tahun lalu. Tentu, November tahun lalu. Masih ingatkah kamu? Tidak, bukan sekarang. Saat ini kamu belum mengutarakan perasaanmu. Tapi 11 hari kemudian. 11 hari kemudian kamu mengucapkan kalimat magis  itu. 11 hari kemudian…tapi setahun yang lalu.