Gaze (Part 2)

Baca sebelumnya: Gaze part 1.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Karena datang di detik-detik terakhir kelas dimulai, aku dan beberapa temanku lagi-lagi harus duduk dibangku paling bawah sekaligus paling depan. Bangku di kelas multimedia memang disusun seperti tangga disisi kanan dan kiri—‘tangga’ di kanan untuk para cewek dan ‘tangga’ di kiri untuk para cowok—dengan proyektor besar disisi utara ruangan berukuran sedang tersebut.
Kelas hari ini dibuka dengan satu per satu murid disana maju untuk mempresentasikan film kemarin. Aku bernafas lega saat mendengar newcomers tidak diikutsertakan untuk presentasi hari ini. Satu per satu telah maju, giliran selanjutnya tergantung siapa nama yang disebutkan oleh presentator sebelumnya.
Tiba-tiba si pemberi-pena-kemarin berdiri karena mendapat giliran untuk maju kedepan. Oh, berarti namanya barusan disebutkan, tapi sepertinya aku tidak ingat namanya siapa… atau tepatnya tidak mendengar. Dan aku baru sadar kalau dia duduk tak jauh dariku seperti kemarin. Karena merasa dia lagi-lagi melihat kearahku, aku memutuskan untuk tidak memerhatikannya sama sekali. Ah dasar, sepertinya aku menjadi sedikit parno terhadapnya.
Kelas break sejenak dan semuanya dipersilahkan untuk menunaikan sholat isya terlebih dahulu. Setelah selesai, para murid bisa kembali dan kelas akan dilanjutkan. Sekitar setengah jam kemudian, kelas sudah kembali terisi dan tahukah apa yang mengagetkanku? Si kacamata itu sekarang duduk tepat didepanku.
Oke. Oke. Mau disengaja atau tidak, tetap saja aku merasa dia sengaja. Huh. Sepertinya aku sudah berubah menjadi makhluk paling pede diruangan ini.
Ah, sudahlah, jangan terlalu dipikirkan. Sejak kapan aku peduli dengan hal-hal seperti itu?
Malam ini kami kembali disuguhkan sebuah film setelah menyanyikan beberapa lagu bersama-sama. Katanya karena menyambut tahun baru, jadi kelas ini akan lebih ‘santai’ dibandingkan hari-hari sebelumnya. Tapi tetap saja kami harus presentasi seperti tadi dipertemuan selanjutnya.
Oke, tidak masalah. Ngomong-ngomong aku sudah membawa sebatang pensil dan meminta salah satu temanku membawa kertas seperti kemarin, jadi kami tidak akan kelabakan lagi.
Mataku tiba-tiba tertumpu pada sepasang bola mata dihadapanku. Si kacamata itu tersenyum dan mengangkat pena warna-warni yang dipinjamkannya kemarin ditangannya. Dia menawarkan penanya lagi.
I bring mine,” jawabku sambil tersenyum dan menunjukkan pensil yang sudah kuraut menjadi seperti bambu runcing dimasa penjajahan.
“Oh, okay.” Dia kembali tersenyum lebar dengan ramahnya.
Aku memalingkan wajahku setelah itu dan berusaha untuk tidak melihatnya lagi. Sialnya, entah ada masalah apa hingga film belum diputar dan salah satu tentor memutuskan untuk membuka obrolan dengan kami semua. Kelas menjadi penuh dengan suara-suara dan aku sudah tidak lagi fokus dengan tentor tersebut yang tidak kutahu namanya karena beliau tidak mengajarku.
Aku lupa bagaimana bisa, tapi tiba-tiba mata kami bertemu lagi dan dia membuka mulutnya, seperti ingin mengatakan sesuatu. Kuputuskan untuk tidak memalingkan wajahku, mungkin berbicara dengannya bukan ide yang buruk. Tidak ada salahnya menambah-nambah teman, kan?
Hal pertama yang diucapkannya adalah… 


From Bandung?”
Otomatis aku menggeleng. Darimana asalnya dia mengira aku salah satu masyarakat kota Bandung? Toh aku saja tinggal dipulau yang berbeda. “No, I’m from Palembang,” jawabku.
Rupanya dia yang berasal dari Bandung.  
Akhirnya, obrolan itu berlanjut. Dia bertanya siapa namaku dan aku memberitahunya. Tiga kali. Ya, aku menyebutkan namaku tiga kali karena kelas ini semakin lama semakin berisik. Basa-basi, akhirnya kutanya siapa namanya. Lucunya, aku sama sekali tidak menangkap siapa namanya dan kuputuskan untuk pura-pura tahu saja. Hahaha.
Dia bilang bahasa inggrisku baik sekali dan cukup terkejut saat tahu aku adalah siswi kelas 2 SMA berumur 16 tahun. Dia pikir aku sudah duduk dibangku kuliah. Kemudian, dia memintaku untuk menebak dia berada dijenjang pendidikan apa. Tebakanku dia sedang menempuh bachelor sekitar 1 atau 2 tahun.
Giliranku yang salah kali ini. Ternyata dia sudah sarjana jurusan teknik komputer dan informatika kalau aku tidak salah dengar. Tadinya aku ingin menjawab dia baru mau masuk kuliah. Ternyata wajahnya menipu sekali.
Setelah itu, sambil menunggu film diputar, kami melanjutkan obrolan dengan bahasan yang lebih ringan. Pembicaraan kami terputus saat film dimulai dan kami tidak lagi berbicara hingga kelas selesai. Tapi—rupanya masih sama seperti kemarin—dia seringkali melirik kearahku.
***
Hari ini kelas dibubarkan lebih lama dari biasanya, sekitar jam 10 malam. Jujur saja aku mengantuk sekali, tapi sayangnya aku tidak bisa langsung kembali ke dorm karena menunggu writing book yang akan dikembalikan sebentar lagi oleh tentor writing class.
“Kayaknya dia nungguin kamu,” bisik temanku saat kami sudah berada diluar kelas.
Yang temanku maksud adalah si kacamata tadi. Aku mengernyit. Untuk apa dia menungguku?
“Soalnya dia dari tadi ngelirik kamu,” lanjut temanku seakan tahu isi pikiranku.
Kami masih menunggu karena salah satu temanku sedang mengambil buku tulis ukuran folio alias writing book yang sedang dinilai. Kami mendapat tugas writing lagi dan harus dikumpulkan besok, jadi buku itu harus sudah dikembalikan malam ini.
Lagi-lagi aku harus begadang mengerjakan tugas. Disini jadwalnya sangat padat. Sedikit lelah memang, namun entah kenapa aku sangat suka berada disini. Mungkin karena sejak SD Bahasa Inggris adalah mata pelajaran favoritku.
“Hey.”
Aku menoleh.
Si kacamata itu kini sudah berdiri disampingku dengan senyum lebarnya.
“Hey,” jawabku sambil membalas senyumnya.
Tiba-tiba, temanku kembali dan membagikan writing book ke pemiliknya masing-masing.
May I see your writing?” matanya melirik writing book ber-cover cokelat yang kupegang. Sebenarnya aku berniat untuk tidak membuka buku itu didepan si kacamata ini. Aku tidak terlalu baik dalam hal education writing karena grammar-ku sedikit kacau. Aku memang cukup baik dalam berbicara, namun bukan berarti aku menguasai grammar.
Anehnya, aku justru menyodorkan bukuku dan membiarkannya berada ditangan si kacamata. “I’m not really good at writing, so—”
Really?” Ia memotong ucapanku. “You got an A.” Ia menyodorkan kembali bukuku.
“Oh?” aku menatap rentetan paragraph disana. Ada sedikit koreksi dengan tinta merah, tapi tetap saja huruf A kapital didalam lingkaran berdiri tegak disamping judul essay yang kubuat.
If you need help for writing, you can ask me,” katanya, masih dengan senyum lebar diwajahnya yang sepertinya belum menghilang sejak dia menyapaku tadi. Hah, dia ramah sekali, ya.
Thank you.” Hanya itu yang bisa kukatakan.
By the way, don’t you wanna go back to your dorm?” tanyanya. “If you don’t, how if we go to drink juice?”
Seketika aku terdiam ditempat. Barusan dia mengajakku minum jus bareng? Ah, yang benar saja.
Excuse me,” suara itu membuatku dan si kacamata menoleh. Disampingku sudah ada temanku, pasti dia mau mengajakku kembali ke dorm. “Maaf ganggu, tapi salah satu temen kami ada yang lagi gak enak badan dan kami mesti balik ke dorm. Maaf ya, gak apa kan kalo aku ajak Nayyah balik ke dorm?”
Setelah dia jawab “tidak apa-apa”, aku segera kembali ke dorm bersama temanku, meninggalkan dia yang terlihat bingung dengan apa yang terjadi, dan aku sendiri tidak mengatakan apa-apa selain permisi padanya.
Maaf ya, dan sampai ketemu besok.

*** 

written by: nausagi's blog.

Comments

Popular posts from this blog

Ibu Kita Kartini

Afgansyah Reza-Refrain (chord gitar dan lirik lagu) Ost.Refrain 2013

Hasta Karya dari Barang Bekas