Posts

Showing posts with the label cerpen

Gaze Part.3

Baca sebelumnya : Gaze Part.2 Part 3 “Nay, aku kesana dulu, ya.” “Oke, bentar lagi aku nyusul, Rin,” jawabku kepada Rina. Rina berjalan menuju tempat makan yang berada tepat disamping lembaga kursusku. Bisa dibilang seperti warung makan, disini tidak ada rumah makan; kebanyakan rumah kecil atau pondok yang disulap menjadi tempat makan berukuran lebih besar dari warung makan dengan menu yang lebih bervariasi. Rina adalah temanku satu sekolah. Aku memang tidak sendirian pergi kesini, tepatnya bersama tiga teman; Rina salah satunya dan dua diantaranya laki-laki. Biasanya kami berempat berkumpul hanya saat di kelas atau kadang-kadang saat kami memutuskan untuk makan bersama. Selain dari itu, aku dan Rina mengerjakan apapun bersama teman satu dorm, begitu juga dengan mereka berdua. Rina adalah alasan mengapa tadi malam temanku yang lain tiba-tiba memotong pembicaraanku dengan si kacamata. Sebenarnya bukan karena sedang tidak enak badan, tapi karena mood Rina yang memburuk. Seja

Gaze (Part 2)

Baca sebelumnya: Gaze part 1 . ~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~ Karena datang di detik-detik terakhir kelas dimulai, aku dan beberapa temanku lagi-lagi harus duduk dibangku paling bawah sekaligus paling depan. Bangku di kelas multimedia memang disusun seperti tangga disisi kanan dan kiri—‘tangga’ di kanan untuk para cewek dan ‘tangga’ di kiri untuk para cowok—dengan proyektor besar disisi utara ruangan berukuran sedang tersebut. Kelas hari ini dibuka dengan satu per satu murid disana maju untuk mempresentasikan film kemarin. Aku bernafas lega saat mendengar newcomers tidak diikutsertakan untuk presentasi hari ini. Satu per satu telah maju, giliran selanjutnya tergantung siapa nama yang disebutkan oleh presentator sebelumnya. Tiba-tiba si pemberi-pena-kemarin berdiri karena mendapat giliran untuk maju kedepan. Oh, berarti namanya barusan disebutkan, tapi sepertinya aku tidak ingat namanya siapa… atau tepatnya tidak mendengar. Dan aku baru sadar kalau dia duduk tak jauh dariku seperti

"Gaze" (Part.1)

Lagi-lagi mata kami tak sengaja bertemu. Aku tidak tahu dia siapa, aku tidak mengenalnya sama sekali dan ini kali pertama aku melihatnya. Tadi kami tak sengaja saling bertatapan; tapi tidak sampai sedetik. Dan ini kali kedua kami saling bertatapan. Dia duduk didepanku—tidak tepat didepanku, sih, tapi jaraknya tak begitu jauh. Saat ini kami sedang mengikuti kelas multimedia disalah satu lembaga bahasa yang terdapat di Kampung Inggris, Pare—aku menghabiskan waktu disana selama liburan sekolah. Tapi yang jadi masalah, ini pertama kalinya aku dan beberapa temanku mengikuti kelas multimedia—yang diadakan setiap malam hari—dan kami sama sekali tidak tahu kalau kami membutuhkan kertas dan pena. Kertas dan pena… eh, atau pensil—atau apapun itu yang bisa digunakan untuk menulis. Dan disinilah aku, si murid baru yang tidak punya benda-untuk-menulis. Tadinya aku ingin meminjam, tapi betapa kasihannya aku karena tidak menemukan pinjaman pena. Yap, hal inilah yang menyebabkan pandanganku te

Penghujung Malam

Mungkin sudah ratusan kali bola mataku melirik-lirik ponsel yang tergeletak disampingku. Semua notifications yang muncul tidak ada satupun dari dia. Entah kemana dia hari ini. Sebisa mungkin aku mencoba untuk berpikir positif. Memang akhir-akhir ini dia semakin sibuk dengan pekerjaannya, bahkan tak jarang dia pulang larut. Sekarang jam menunjukkan pukul 11 malam dan masih belum ada kabar darinya. Biasanya, jam berapapun ia pulang, ia masih sempat memberi kabar meskipun hanya sekedar pertanyaan basa-basi lalu pamit tidur karena ia sudah sangat lelah. Setidaknya ia selalu mengucapkan selamat malam untukku. Atau, walaupun ia tidak mengucapkan selamat malam karena ketiduran, masih saja ada sedikit kabar darinya. Tapi hari ini tidak ada sama sekali, bahkan pesan dariku pun hanya sempat dibaca dan tidak dibalas lagi. Sumpah, hari ini aku sangat merindukan dia….Nick. Menyerah, akhirnya kuambil ponselku dan membaca beberapa pesan. Sebagian pesan dari sahabat-sahabatku yang saat ini sedang

The Boys

Lagi-lagi ponselku berdering. Kali ini dering nada blackberry messenger . Berhubung ponselku berada tepat disamping, segera saja kubuka. Aku tersenyum saat melihat sebuah pesan singkat dari temanku, Ezi. Hah, dia masih (lumayan) rajin mengirimiku pesan meski sekarang sudah punya pacar. Dia bertanya aku sedang apa, kubalas saja dengan jawaban seadanya. Kembali lagi aku memfokuskan diri dengan film yang saat ini sedang kutonton dari dvd portable . Sudah sebulanan ini aku cukup sibuk dengan kegiatan sekolah dan beberapa perlombaan. Sekarang semua sudah selesai dan kupikir aku butuh waktu untuk menghibur diri, sebuah film baru sepertinya cukup untuk saat ini. Ponselku berdering lagi, tapi itu pasti bukan Ezi karena kali ini yang terdengar adalah nada sms. Kubuka dengan malas, aku bukan tipe orang yang rajin ber-sms-ria kecuali dengan orangtua atau ‘orang-orang penting’ seperti guru atau siapalah, aku lebih sering menggunakan aplikasi messenger untuk berhubungan dengan teman-teman

Hari Terakhir

(Written by: Nausagi) Hari itu tepat tanggal 3 November. Jujur saja, aku berharap hari itu tidak pernah ada karena hari itu adalah hari terakhirku bertemu dengan teman-teman baru dari Negara lain yang sudah terlanjur akrab. Hari itu hari terakhirku bertugas menjadi tour guide dan hari terakhir bagi mereka berada di Lubuklinggau. Jam sudah menunjukkan pukul 06.30 pagi dan aku sudah duduk di lobby Hotel Abadi sambil menunggu Yuk 1 Vira menuju kesini. Lewat group Humas Mountain Bike di blackberry messenger, aku mengetahui bahwa beberapa delegasi dari Negara lain sudah menuju Bengkulu, tepatnya menuju airport . Ada yang berangkat pukul 1 pagi, pukul 4 pagi, pukul 6 pagi juga. Tapi, delegasi yang sudah berangkat ke Bengkulu adalah yang stay di Hotel Smart, bukan di Hotel Abadi, tempatku biasa ‘bertugas’. Di Hotel Abadi hanya ada 4 delegasi; Indonesia, Iran, Jepang, dan Korea. Aku meng- handle delegasi Iran bersama Kak Hendra dan terkadang membantu Yuk Vira di delegasi Jepang. Seben

Nostalgia Sore

Hari ini udara terasa sangat sejuk dengan dedaunan kering yang menari-nari sebelum akhirnya jatuh ketanah. Tanpa disadari lelaki itu menarik bibirnya membentuk lengkungan senyum. Ia membetulkan letak kacamata yang membingkai sepasang bola mata hitamnya kemudian kembali berjalan menuju salah satu tempat favoritnya; lapangan basket. Dengan langkah lebar dan mantap, ia mendekati salah satu bangku kayu panjang dipinggir lapangan kemudian duduk disana. Ia bertopang dagu dengan telapak tangan terpaut, menikmati setiap bagian di sekolah lamanya ini sambil merasakan rindu yang amat dalam. Keadaan sekolahnya tidak jauh berbeda seperti beberapa belas tahun yang lalu, hanya  cat bangunan yang berbeda dan beberapa bagian gedung yang sudah diubah menjadi lebih modern. Tiba-tiba ponsel disaku celananya bergetar, ia mengambil ponsel tersebut dan menjawab panggilan telepon setelah membaca pemilik nomer dilayar. “Halo?” “Azzam! Sudah di sekolah kah kau sekarang?” Lelaki bernama Azzam i

Khayalan

Langit semakin kelabu dengan angin yang berhembus kencang dan dedaunan kering yang menari mengikuti arah angin. Namun semua itu sama sekali tidak mengusik gadis yang duduk didepan sebuah pohon besar dengan seulas senyum diwajahnya. Ia sama sekali tidak terganggu, bahkan saat beberapa dedaunan kering berhenti diatas kepalanya, ia tetap saja bergeming. Ia terlalu asik dengan dunianya sampai-sampai tak menyadari keadaan sekitar. Baginya bertemu perempuan cantik yang duduk dihadapannya saat ini adalah hal terpenting didunia.  “Kapan Kak Yola pulang ke rumah? Viska kesepian kak,” ucap gadis bernama Viska tersebut. Ia menghela nafas saat perempuan yang dipanggilnya ‘Kak Yola’ itu hanya tersenyum. Selalu begitu. Kakaknya tak pernah mau berbicara, yang dilakukannya hanya tersenyum. Viska bingung harus bagaimana. Entah sudah berapa lama kakaknya pergi dari rumah dan berdiam ditempat yang saat ini didatangi Viska. Hampir tiap hari ia menemui Yola dibawah pohon. Ia selalu memohon pad

Malam Terkelam

Peluh membasahi wajahnya. Kakinya berlari kencang dengan nafas memburu dan sesekali matanya melirik kebelakang. Cahaya kecil yang berasal dari seseorang dibelakangnya masih ada. Ia benar-benar dikejar! Dengan cekatan, ia memasuki gang-gang sempit yang ia temui, berusaha mencari titik tergelap hingga tak ditemukan oleh sosok misterius itu lagi. Namun, hingga kesekian gang sempit yang ia masuki, ia masih saja ditemukan. Sosok itu masih berada beberapa meter dibelakangnya. Hingga disalah satu gang ia berhenti dan bersembunyi dibalik tiang listrik. Ia mengintip keujung gang kemudian bernafas lega karena sepertinya sosok itu sudah tidak ada. Beberapa menit ia menunggu dan kali ini ia benar-benar yakin sudah tidak ada orang yang mengejarnya lagi. Sudah saatnya pulang, Ray, batinnya. Ia kembali melanjutkan perjalanan pulang melalui gang itu dengan langkah yang diusahakan tak ada suara. Ray bernafas lega saat melihat rumah kecilnya yang berdiri kokoh diujung jalan. Ia mempercepat lang

Si Pencuri

Written by: Naura Hafiza A  *** Pagi itu Nanad terbangun dengan sedikit sentakan ditubuhnya. Ia langsung duduk tegak diatas ranjang kemudian melompat dan menyambar tas ranselnya. Seharusnya masih ada, gumamnya. Dibukanya ritsleting tasnya, ia mengeluarkan seluruh buku didalamnya sampai tak bersisa apapun. Wajahnya pucat dan jantungnya berdegup kencang, bulir-bulir keringat pun membasahi wajahnya. Ia menggigit bibir dan dengan gemetar memeriksa tasnya sekali lagi. Tidak ada. Uang itu lenyap. Tak mau putus asa, Nanad membuka bukunya satu persatu, menggoyangkannya ke kanan-kiri namun tak ada hasil. Nihil. Uang itu benar-benar sudah menghilang. Seketika Nanad bersandar disisi ranjang, lemas. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Uang itu bukan miliknya, tetapi milik teman-teman sekelasnya yang membayar buku. Ditambah lagi jumlahnya tidak sedikit, 600 ribu rupiah. Tak mungkin Nanad menggantinya dengan kurun waktu kurang dari tiga minggu. Nanad berteriak frustasi sambil melempar t

Break Up

“Nin, denger aku dong kalau aku lagi ngomong. Anin!” Anin terhenyak, mengalihkan pandangannya kearah cowok yang duduk dihadapannya. Oke, tadi dia bilang apa? “Apa, Tam?” tanya Anin tak peduli. Ia melirik ponselnya yang berkedip, tangannya gatal ingin membuka pesan masuk dan segera membalasnya. “Hapenya letakkin dulu, Nin. Jangan gitu dong, aku ngomong dari tadi nggak kamu dengerin sama sekali.” Tama mengulurkan tangannya dan melirik ponsel digenggaman Anin, menaikkan alisnya kemudian menggerakkan jari-jarinya. Dengan berat hati Anin memberikan ponselnya pada Tama dan bernafas lega melihat cowok itu memasukkan ponselnya kedalam saku celana, tidak memeriksanya sama sekali. “Maaf, Tam,” kata Anin pelan, walaupun dalam hati tidak begitu merasa bersalah. Tama mengangguk dan menatap Anin tajam selama beberapa detik. Keduanya hanya diam selama beberapa saat hingga akhirnya Tama memutuskan untuk berbicara. “Anin kenapa, sih?” “Kenapa apanya?” Anin bertanya balik dan berusaha tidak m

Me vs. Brondong

"Sya, dicariin tuh!” sebuah suara memecah lamunan Irsya yang duduk manis dibangkunya. Gadis itu mengernyit melihat Kia—si pemilik suara—yang duduk sebangku dengannya. “Siapa?” tanya Irsya sambil berusaha mengintip keluar dari jendela kelasnya yang terletak cukup rendah sehingga ia bisa melihat keluar meski sambil duduk. “ You-know-who , lah ,” jawab Kia sambil berkacak pinggang dengan tatapan yang-begitu-nggak-usah-ditanya. Irsya menghela nafas sebal. Pasti bocah satu itu. Bocah yang secara otomatis menghancurkan ketenangan Irsya di SMA semenjak kedatangannya. Ya! Memang dia! Irsya bisa melihat si cowok tengil itu sedang berdiri didepan pintu kelas dengan tampang polos yang menurutnya sangat menipu. “Samperin gih , Sya!” kata Kia yang kini sudah duduk disampingnya. Irsya mendecakkan lidahnya, semakin sebal. Kenapa Kia—dan hampir semua orang—selalu membela bocah itu?! Oke, memang kalau diperhatikan dengan seksama, wajah si tengil itu sangat manis, tapi mereka semua tidak

Move On (?) part.3

(still) December 2013 “Kayaknya udah nggak ada orang lagi, Vik,” kata Nana sambil berusaha mengintip kedalam lingkungan sekolah yang ada dihadapan mereka. “Masuk dulu deh, itu Pak Rudin lagi jaga di pos. Kalau dia belum pulang, artinya masih ada orang dong,” jawab Vika sambil memarkirkan motornya didepan gerbang sekolah tersebut. Mereka menghampiri Pak Rudin yang sedang duduk di Pos Satpam dan bersyukur karena beliau masih mengingat mereka berdua. Lagipula, siapa yang tidak mengingat Nana disana? Cewek dengan berbagai kasus, berbagai prestasi, sekaligus salah satu ‘penguasa’. “Didalem masih ada orang nggak, Pak?” tanya Nana pelan. “Masih. Setahu bapak masih ada yang main volley didalam. Langsung masuk aja, tapi kalau mau cari guru, sudah banyak yang pulang,” jawab Pak Rudin. Vika menoleh pada Nana. “Gimana, Na? Masuk aja, yuk?” ajak Vika. Nana menggeleng dan mencibir. Ia takut. Takut bertemu Ryan. Apa yang harus dilakukannya jika ia bertemu Ryan? Apa yang akan dipikirkan R

Move On (?) part.2

Desember 2013 “Aku punya cerita,” ujar Vika tanpa ba-bi-bu. Ia melemparkan tubuhnya keatas tempat tidur disamping Nana. Nana yang sedang membaca majalah segera mengalihkan perhatiannya pada Vika yang tersenyum penuh rahasia padanya. Ia mengernyit, heran melihat temannya yang agak aneh hari ini. “Cerita apa? Jangan sampe cerita kamu nggak penting,” kata Nana, kembali membaca majalahnya. Vika merebut majalah Nana dan meletakkannya dilantai. Ia duduk dengan senyum lebar tersungging diwajahnya. “Ini tentang Ryan.” Mata Nana membulat dan tidak sampai sedetik ia sudah duduk tegak, siap mendengarkan. Entah kenapa saraf-saraf ditubuhnya sangat sensitive tiap kali mendengar nama Ryan. “Hah? Ryan? Kenapa sama dia?” tanya Nana tak sabar. “ Calm down, darling, ” tukas Vika sambil mengangkat kedua tangannya. Nana memutar bola matanya dan diam, menunggu cerita Vika. “Kemarin aku chatting sama Ryan di FB,” Vika membuka ceritanya. Nana memiringkan kepalanya. “ Facebook ?” tanyanya dan