"Gaze" (Part.1)
Lagi-lagi mata kami tak
sengaja bertemu.
Aku tidak tahu dia
siapa, aku tidak mengenalnya sama sekali dan ini kali pertama aku melihatnya.
Tadi kami tak sengaja saling bertatapan; tapi tidak sampai sedetik. Dan ini
kali kedua kami saling bertatapan. Dia duduk didepanku—tidak tepat didepanku, sih, tapi jaraknya tak begitu jauh.
Saat ini kami sedang
mengikuti kelas multimedia disalah satu lembaga bahasa yang terdapat di Kampung
Inggris, Pare—aku menghabiskan waktu disana selama liburan sekolah. Tapi yang jadi
masalah, ini pertama kalinya aku dan beberapa temanku mengikuti kelas
multimedia—yang diadakan setiap malam hari—dan kami sama sekali tidak tahu
kalau kami membutuhkan kertas dan pena. Kertas
dan pena…eh, atau pensil—atau apapun itu yang bisa digunakan untuk menulis.
Dan disinilah aku, si
murid baru yang tidak punya benda-untuk-menulis.
Tadinya aku ingin meminjam, tapi betapa kasihannya aku karena tidak
menemukan pinjaman pena. Yap, hal inilah yang menyebabkan pandanganku tersebar
ke-seisi ruangan. Dan ini juga yang menyebabkan pandanganku bertemu dengan
sepasang bola mata berbingkai kacamata milik si orang-tak-dikenal itu. Entah
mengapa dia membuatku sedikit takut atau....... entahlah.
Ditengah-tengah
bisingnya keadaan kelas karena banyaknya manusia disana, aku bisa mendengar dia
berbicara. Dia bertanya pada temannya apakah masih ada pena yang tersisa, dan
temannya jawab tidak. Oh, jadi bukan
hanya aku dan temanku yang tidak punya pena, rupanya dia juga.
Aku meliriknya dari
sudut mataku. Dia sedang menunduk sambil memutar-mutar pena ditangannya. Bukannya tadi dia ingin meminjam pena? Mungkin
dia sudah berhasil meminjam pena dari temannya.
“Hey.”
Aku menoleh. Ketiga
kalinya kami bertatapan.
Dia menyodorkan sebuah
pena.
“For me?” aku menyuarakan isi pikiranku.
Dia mengangguk dan
tersenyum—mungkin dia tersenyum, karena aku tidak melihat wajahnya dengan
seksama. Sulit bagiku untuk bertatapan dengan orang yang tidak
kukenal.
“Thanks,” jawabku. Alih-alih kutolak, pena itu justru kuambil
darinya. Kepepet. Ya, mungkin karena keadaan yang 'kepepet'.
Aku yakin sekali pena
ini adalah pena yang tadi ia putar-putar ditangannya; sebuah pena dengan empat
pilihan warna. Aku memencet bagian warna hitam, namun sama sekali tidak ada
mata pena yang keluar. Sepertinya…
Ah, benar. Dia memegang
isi pena warna hitam, dia mengeluarkannya dari badan pena. Cukup kreatif,
ternyata.
Berarti pena ini
miliknya?
Oke, ternyata dia
lumayan aneh, sekaligus baik hati.
Akhirnya aku memilih untuk
menulis dengan tinta biru dan tidak begitu peduli padanya yang hanya mengandalkan
isi pena—meskipun aku tahu rasanya tidak nyaman jika menulis hanya dengan isi
pena saja.
Malam itu kami
disuguhkan sebuah film horror. Kami ditugaskan
untuk memerhatikan, mencatat, kemudian mengambil poin-poin serta kesimpulan
film, dan mempresentasikannya didepan. Kupikir pena dan kertas
sangat-sangat-sangat diperlukan, rupanya berfungsi untuk mencatat. Padahal, aku
bukan tipe orang yang akan dengan senang hati mencatat, aku hanya akan fokus
pada filmnya.
Tapi, malam itu aku
merasa ada sesuatu yang ganjil; bukan karena suasana yang masih baru, bukan pula karena
film horror yang plot-nya
membingungkanku, tapi karena dia.
Aku sadar—seratus persen
sadar—kalau dia memerhatikanku, atau sekedar melirikku. Maaf sebelumnya, tapi
aku tidak sekedar mengandalkan ‘feeling’.
Buktinya, temanku bilang padaku kalau dia berkali-kali menoleh sepanjang film
itu diputar pada proyektor dalam kegelapan. Jadi, tidak salah kan kalau aku merasa dia memang melihatku?
Akhirnya aku sudah
tidak bisa terlalu fokus dengan film dihadapanku karena ulahnya. Demi apapun, aku
tidak bisa pura-pura tidak peduli kalau diperhatikan—apalagi dengan orang-tak-dikenal—seperti itu. Apa ada
yang salah denganku? Apa aku sudah mengganggunya? Atau sekedar
memastikan pena warna-warninya masih ada ditanganku? Dan sederet pertanyaan
lainnya—itu yang akan terjadi padaku kalau ada yang terus-terusan
memerhatikanku.
Aku hanya bisa berharap
kelas ini segera selesai.
***
Jam sudah menunjukkan
pukul 10 malam saat film itu akhirnya mencapai ending. Karena jam kelas sudah lewat dari seharusnya, presentasi
diundur menjadi besok. Kami dipersilahkan untuk kembali ke dorm masing-masing. Syukurlah, adat ‘ladies first’ sepertinya berjalan dengan baik disini karena kami—yang
ber-gender perempuan—dipersilahkan untuk
keluar duluan.
Aku mengangkat wajahku,
dan he’s already staring at me.
Oke. Oke.
Tiba-tiba aku gugup. Padahal
aku bukan tipe orang yang mudah gugup tanpa alasan. Eh, salah. Tentu saja ada
alasan; karena dia menatapku seperti itu.
“Thank you.” Aku menyodorkan pena itu secepat yang aku bisa, lalu berdiri
dan mengikuti temanku keluar kelas tanpa melihat wajahnya sama sekali.
Feeling-ku
mengatakan, aku akan ‘berurusan’ dengan dia dihari-hari selanjutnya. Feeling-ku mengatakan, akan ada 'sesuatu' diantara kami.
Hah, kadang feeling menjebak kita. Tapi, biasanya feeling-ku tepat sasaran, setidaknya mendekati sasaran.
***
Comments
Post a Comment