Break Up


“Nin, denger aku dong kalau aku lagi ngomong. Anin!”
Anin terhenyak, mengalihkan pandangannya kearah cowok yang duduk dihadapannya. Oke, tadi dia bilang apa? “Apa, Tam?” tanya Anin tak peduli. Ia melirik ponselnya yang berkedip, tangannya gatal ingin membuka pesan masuk dan segera membalasnya.
“Hapenya letakkin dulu, Nin. Jangan gitu dong, aku ngomong dari tadi nggak kamu dengerin sama sekali.” Tama mengulurkan tangannya dan melirik ponsel digenggaman Anin, menaikkan alisnya kemudian menggerakkan jari-jarinya.
Dengan berat hati Anin memberikan ponselnya pada Tama dan bernafas lega melihat cowok itu memasukkan ponselnya kedalam saku celana, tidak memeriksanya sama sekali. “Maaf, Tam,” kata Anin pelan, walaupun dalam hati tidak begitu merasa bersalah.
Tama mengangguk dan menatap Anin tajam selama beberapa detik. Keduanya hanya diam selama beberapa saat hingga akhirnya Tama memutuskan untuk berbicara. “Anin kenapa, sih?”
“Kenapa apanya?” Anin bertanya balik dan berusaha tidak menatap Tama dengan memfokuskan dirinya pada segelas Vanilla Latte.
“Kamu itu cuek banget sama aku. Kalau lagi bareng pasti banyak diemnya, apalagi kalau di hape. Ada apa sih, Nin?” Tama memicingkan matanya, berusaha mempertemukan dengan mata Anin. Namun gadis itu seolah tak peduli dan menyembunyikan matanya dibalik kacamata.
“Aku nggak kenapa-napa, Tama,” jawab Anin singkat dan sengaja menekankan penyebutan nama Tama.
Tama menghela nafas, putus asa melihat Anin yang sejak awal mereka jadian sampai sekarang selalu mengacuhkannya. “Bener, Nin? Kalau aku punya salah, kasih tahu ke aku supaya aku bisa perbaiki,” kata Tama pelan, sungguh-sungguh.
Anin akhirnya mengangkat wajahnya dan memberi Tama senyum termanisnya. Ia menggeleng. “Kamu nggak punya salah apa-apa, Tam. Memang dari dulu sifat aku begini kan? Aku udah peringatin kamu dan kamu sendiri yang bilang bakal berusaha ngerti. Maaf ya, aku nggak bermaksud untuk ngediemin apalagi gak ngeladenin kamu.”
“Iya, aku tahu sifat kamu emang begitu.” Tama memejamkan matanya sedetik kemudian menatap mata Anin dalam-dalam, berusaha menemukan apa yang selama ini ada dipikiran Anin. Namun hasilnya nihil, Tama tidak pernah tahu apa yang sebenarnya ada didalam benak gadis itu. “Tapi Nin, apa kamu gak bisa sedikit merubahnya? Apa kamu gak bisa lebih peduli sama kamu?”
“Tama…” Anin membalas tatapan Tama dan kembali tersenyum. “Aku peduli sama kamu. Dan kamu tahu itu kan?”
Tama membuang pandangannya keluar jendela café dan akhirnya mengangguk, memilih untuk mengalah. “Iya,” jawabnya singkat.
Anin mengangguk, merasa puas karena Tama tidak ingin memanjangkan pembicaraan mereka. Sejujurnya Anin sangat malas tiap kali Tama membahas tentang hubungan mereka. Dan inilah salah satu alasan mengapa Anin seringkali menolak tiap kali Tama mengajaknya pergi berdua.
“Nin, kamu sayang gak sih sama aku?” tanya Tama tiba-tiba.
Anin mengernyit. Ah, dia benci pertanyaan itu. Harus jawab apa kali ini? Apa ia harus mengalihkan pembicaraan lagi seperti yang biasa ia lakukan?

Tiba-tiba Tama mengeluarkan ponsel Anin dari sakunya. Ia melirik layar ponsel tersebut dan memberikannya pada Anin. “Telpon, dari temen kamu.”
Anin segera menyambar ponselnya dan memencet tombol hijau, dalam hati sangat bersyukur temannya menelpon. “Halo, Va?”
Tama duduk memerhatikan Anin yang berjalan menjauh darinya. Entah apa yang dibicarakan dengan temannya sampai-sampai gadis itu harus menjauh. Tama yakin, setelah ini pasti Anin minta pulang karena ada ‘urusan’ dengan teman-temannya. Anin hampir selalu seperti itu. Bagi gadis itu, teman-temannya adalah hal terpenting didunia, urusan pacar sudah berada diurutan seratus kebawah. Gadis itu selalu memprioritaskan teman-temannya sampai-sampai pernah membatalkan janjinya dengan Tama yang dibuat sejak seminggu sebelumnya.
“Tam?” panggil Anin.
“Kenapa Nin?”
“Aku pulang ya, Tam?” kata Anin hati-hati.
Benar kan? Tama menghela nafas dan akhirnya mengangguk. “Ada urusan lagi, ya, sama temen-temen kamu?”
Anin tersenyum kecut, sedikit merasa bersalah. “I.. iya, Tam. Nggak papa kan?”
“Iya, udah biasa juga kan kayak gini? Yaudah, yuk!” Tama berdiri dan berjalan mendekati Anin yang berada dua langkah didepannya.
“Tam, aku dijemput sama Riva,” kata Anin tiba-tiba.
Tama menghela nafas lagi. Ia dan Anin sangat sulit bertemu di sekolah karena Anin yang sibuk dengan berbagai kegiatan dijam istirahat. Diluar pun sangat sulit bertemu dengan Anin. Dan sekarang, pergi pun dijemput oleh temannya? “Iya, aku anter kamu sampe depan.”
“Nah, itu Riva!” tukas Anin saat mereka sudah berada dihalaman parkir café.
Riva membuka kaca mobilnya dan tersenyum pada Anin dan Tama. Didalam sana sudah ada tiga teman Anin yang lain.
“Tam, pergi dulu ya. Kamu hati-hati!” kata Anin dengan senyum lebarnya.
Tama tersenyum dan mengangguk. “Iya, kamu juga.”
**
“Jadi, udah bilang sama Tama?” Riva memulai percakapan selama beberapa saat Anin tenggelam dengan lagu yang diputar disalah satu stasiun radio.
Anin menoleh, menatap Riva yang mengendarai mobil disampingnya. Sahabatnya itu tersenyum dan menaikkan salah satu alisnya, meminta jawaban. “Belum. Aku belum ngomong sama dia.”
Shena dan Arum yang sedari tadi duduk dibelakang dan sibuk dengan ponsel mereka segera beralih dan memutuskan untuk bergabung dengan Anin. “Loh, Nin, masih belum ngomong juga?” tanya Arum.
Anin menggeleng, tersenyum lemah sambil menatap Arum sekilas. “Belum. Aku gak tega kalau ngomong gitu ke dia. Gak mungkin aku mutusin dia tanpa alasan, kan?”
“Ada dong alasannya. Kamu gak punya perasaan apapun ke dia. Ya kan?” sahut Shena.
Anin tertawa hambar. Ya, memang itu alasannya. Tapi apa harus itu yang ia katakan kalau Tama bertanya mengapa Anin memutuskan hubungan mereka? Lalu, Tama pasti akan bertanya kenapa Anin mau menerima Tama menjadi pacarnya waktu itu? Apa harus Anin bilang alasannya adalah terpaksa? Anin tidak mungkin sejahat itu. Walaupun ia tidak memiliki perasaan khusus pada Tama, tetap saja ia tidak mau menyakiti hati cowok itu. Tama tidak pantas disakiti.
“Nin, emang kamu gak tega mutusin dia karena alasan itu, tapi sampe kapan kamu sama dia? Tau nggak, kamu itu cuma nyakitin perasaan dia aja. Dia sendiri yang sering cerita ke aku. Dia sering nanya ke aku kenapa sifat kamu gitu. Terus aku mau bilang apalagi ke dia, Nin?” ucap Riva panjang lebar. Tama memang seringkali bertanya pada Riva tentang Anin, dan Riva tahu pasti Tama sangat sedih—sedih dengan sifat Anin yang super cuek, dan sedih karena ia merasa semua sia-sia, orang yang menyukainya tidak menyukainya balik. Menyakitkan.
“Ada alasan lain gak?” tanya Anin tiba-tiba.
Ketiga sahabatnya terdiam selama beberapa saat, mencoba berpikir. Kemudian mereka akhirnya menggeleng. “Apa alasan selain itu? Nggak ada deh kayaknya. Sejauh ini dia gak ada bikin kesalahan apa-apa kan?” jawab Arum.
“Tapi gak lucu kan kalau aku bilang alasannya karena aku nggak punya perasaan apa-apa ke dia?” kata Anin gemas. Saat ini ia benar-benar bingung apa yang harus dilakukannya. Tak bisa dipungkiri, Anin sendiri ingin sekali mengakhiri hubungannya dengan Tama.
Riva menghela nafas. “Nin, pikirin baik-baik. Jangan sampe kamu sakit hati dan dia juga sakit hati. Jangan sampe dia salah paham dan kamu dicap yang gak baik sama dia. Lebih baik selesai sekarang daripada nunggu lama-lama terus ujungnya putus juga.”
Oke. Sekarang mulut Anin terkunci rapat, bingung harus berkata apa. Ia harus berpikir.
**
Bahkan espresso favorit Anin pun tidak bisa membuat gadis itu berpikir jernih. Otaknya masih kacau, bingung dengan keputusan yang akan ia buat. Jujur atau bertahan?
“Nin! Gawat!” tiba-tiba Arum dan Riva datang mengagetkan Anin dan Shena.
“Ada apa?” tanya Anin. Seketika itu juga ia tahu ada hal buruk yang tengah terjadi. Firasatnya mengatakan ini tentang…
“Leon!” pekik Arum dengan suara tertahan.
Anin mengembuskan nafas. Benar, kan. “Kenapa sama Leon? Kalian ketemu dia?”
“Iya, Nin. Tadi pas keluar dari toko buku kami ngeliat dia lewat. Berdua aja sama cewek. Gak tau juga siapa cewek itu, yang pasti aku sama Arum gak kenal,” cerita Riva dengan nafas memburu.
Anin menyandarkan tubuhnya ke sofa, kepalanya terasa pusing. Sekarang memang benar, sudah hancurlah hatinya. Orang yang ia sukai selama ini—sekaligus mantan pacarnya—sudah memiliki penggantinya. Semuanya berantakan.
“Nin…” panggil Shena pelan.
“Ya?”
“Itu…. Itu Leon, Nin,” bisik Shena.
Keempat pasang mata itu melihat melalui jendela café yang besar. Ya, disanalah Leon, berjalan dengan ditemani seorang gadis manis disampingnya. Hanya berdua. Dengan tawa dan senyum yang ‘berbeda’. Sama seperti saat Leon dan Anin bersama.
Anin memalingkan wajahnya, kembali bersandar pada sofa dan menutup mata. Pahit. Sangat pahit. Kenapa ia mencintai orang yang tidak mencintainya lagi? Dan kenapa orang yang mencintainya bukan orang yang ia cintai? Kenapa harus sepahit ini?
Riva merangkul Anin dan mengelus bahu sahabatnya itu. “Sabar ya, Nin,” bisiknya. Ia tahu bagaimana hancurnya perasaan Anin sekarang karena ia tahu persis bagaimana perasaan Anin pada Leon. Bahkan beberapa orang yang ‘berusaha keras’ pun belum berhasil membuat Anin lupa dengan Leon, sang mantan pacarnya.
Anin menggeliat, mengambil ponselnya dari dalam tas tangan. Ia memencet tombol hijau saat sudah menemukan nomor tujuan. Beberapa detik ia menunggu, menggigit bibirnya karena ragu dan takut hingga akhirnya si pemilik nomor mengangkat panggilan tersebut. “Halo, Tam?”
Shena, Arum dan Riva diam mendengarkan, sama sekali tidak tahu apa yang gadis itu lakukan. mereka memutuskan untuk menguping pembicaraan Anin yang duduk diantara mereka bertiga.
“Kamu lagi dimana?...... Ada waktu bentar?.... Iya, aku tahu ini mendadak, tapi ini penting Tam…… Biar aku yang nyusul kesana……… Kamu tunggu disana, jangan kemana-mana. Bye, Tam!” dan segera saja Anin memutuskan sambungan telepon tersebut.
“Nin? Kamu apa-apaan? Kamu mau nyamperin si Tama?” tukas Shena histeris.
Anin tersenyum dan mengangkat bahunya, memasukkan ponselnya kedalam tas kemudian mengenakan tas tersebut.
“Bentar, Nin. Kamu mau ngapain? Jangan ngomong kamu mau bawa Tama terus berusaha ketemu sama Leon biar itu cowok liat kalo kamu juga udah punya pengganti!” ujar Arum dengan mata menyipit, berusaha menebak isi pikiran Anin.
Lagi-lagi Anin tertawa hambar. Ia menatap ketiga sahabatnya dan menggeleng. “Aku gak bakal gitu. Aku mau ngomong sama Tama. Aku udah tau apa maunya aku. Itu aja.”
“Oh ya? Jadi keputusannya apa?” tanya Riva dengan mata membulat. Ia tidak mau Anin salah mengambil keputusan.
“Aku mau sendiri aja,” kata Anin sambil melemparkan senyum simpul. Ia berjalan pergi dan meninggalkan ketiga sahabatnya yang masih terbengong.
Riva tersadar dan segera menarik kedua lengan sahabatnya, mereka berjalan mengejar Anin yang sudah sampai di pintu keluar. “Tunggu Nin, kami ikut!” tukas Riva.
Anin menghentikan langkahnya dan menoleh. Ia tersenyum kecil. Entahlah, apakah keputusannya ini tepat. Yang pasti, ia sudah cukup lelah dengan hatinya yang selalu menahan perasaan. Lebih baik ia menyudahi segalanya. Menyudahi perasaannya dengan Leon dan menyudahi hubungannya dengan Tama. Cukup. Itu saja.

Comments

Popular posts from this blog

Ibu Kita Kartini

Afgansyah Reza-Refrain (chord gitar dan lirik lagu) Ost.Refrain 2013

Hasta Karya dari Barang Bekas