The Boys
Lagi-lagi
ponselku berdering. Kali ini dering nada blackberry
messenger. Berhubung ponselku berada tepat disamping, segera saja kubuka. Aku
tersenyum saat melihat sebuah pesan singkat dari temanku, Ezi. Hah, dia masih
(lumayan) rajin mengirimiku pesan meski sekarang sudah punya pacar. Dia
bertanya aku sedang apa, kubalas saja dengan jawaban seadanya.
Kembali
lagi aku memfokuskan diri dengan film yang saat ini sedang kutonton dari dvd portable. Sudah sebulanan ini aku
cukup sibuk dengan kegiatan sekolah dan beberapa perlombaan. Sekarang semua
sudah selesai dan kupikir aku butuh waktu untuk menghibur diri, sebuah film
baru sepertinya cukup untuk saat ini.
Ponselku
berdering lagi, tapi itu pasti bukan Ezi karena kali ini yang terdengar
adalah nada sms. Kubuka dengan malas, aku bukan tipe orang yang rajin
ber-sms-ria kecuali dengan orangtua atau ‘orang-orang penting’ seperti guru
atau siapalah, aku lebih sering menggunakan aplikasi messenger untuk berhubungan dengan teman-temanku. Jadi, tebakanku
sepertinya ini sms dari operator.
Oh,
ternyata salah. Ini sms yang datangnya dari seseorang tak terduga: Rio! Dia mengucapkan
‘Assalamualaikum’ padaku. Hei, sudah lama dia tidak pernah muncul lagi dalam
hidupku, kupikir dia sudah benar-benar ‘pergi’. Kulirik pesan singkat terakhir
darinya, dikirim sekitar tujuh bulan yang lalu. Benar, kan? Dia sudah menghilang
selama tujuh bulan. Lucu, kenapa tiba-tiba dia menghubungi lagi? Akhirnya kuputuskan
untuk membalas sms itu meskipun kusadari tidak ada lagi perasaan gembira
seperti dulu.
Pada
akhirnya aku tidak bisa fokus dengan film yang kutonton. Pertama, karena
obrolan dengan Ezi, kuakui Ezi selalu asyik diajak mengobrol entah secara
langsung atau sekedar melalui text.
Kedua, karena sms-an dengan Rio. Ketiga, sahabat-sahabatku—para cewek-cewek
yang kucinta—membuka forum rumpi di group
yang isinya hanya anggota geng kami. Keempat, barusan saja Jeremy alias
Jere mengirim pesan via LINE. Jadi,
sudah pasti ponsel-lah yang kini menjadi fokusku.
Ngomong-ngomong,
mungkin aku perlu sedikit menceritakan tentang tiga cowok yang satu per satu
sudah kusebutkan namanya tadi. Ezi adalah teman akrabku sejak SMP, hanya saja
kami tidak berada di SMA yang sama. Dia imut, banyak cewek yang naksir dia, dan
dia pecinta musik (sama sepertiku). Dia seringkali menjadi gitaris. Ezi memang sering mengobrol denganku via text,
kadang kalau bbm-nya sedang off, dia
akan beralih ke sms. Dia perhatian, bahkan dia rela mengantarku ketempat kursus
piano yang sangat jauh dari rumah kami, saat itu memang supirku sedang tidak
ada dan aku sendiri tidak bisa mengendarai apapun selain sepeda. Tiba-tiba saja
dia muncul dan menawarkan jasa antar padaku. Saat itu aku sangat berterimakasih
padanya. Kadang dia juga tidak sungkan mengucapkan rindu padaku, atau sekedar mengirimkan
voice notes saat ia bernyanyi dengan
gitarnya.
Aku
tak pernah tahu apa yang membuat kami berdua terus stuck ditempat yang sama, kata salah satu sahabatku, kami berada di
friendzone. Ugh! Lalu aku harus apa? Lagipula,
baru-baru ini tiba-tiba terdengar kabar kalau Ezi berpacaran dengan Iin,
salah satu temanku. Aku dan Iin pernah satu kelas ditahun pertama SMA dan
sampai sekarang kami masih berada disatu ekskul yang sama. Sahabatku pernah
bercerita, dihari saat Ezi ingin mengutarakan perasaannya pada Iin, sahabatku
itu bertanya pada Ezi kenapa dia tidak denganku saja. Dan Ezi menjawab,
tidak mudah untuk bersamaku dan tidak yakin juga bisa bersamaku. Oke, apa
artinya ini? Yang pasti kita sudah bisa menangkap apa maksudnya. Rasanya aku
ingin berteriak pada Ezi: Lalu selama ini kamu sebut apa kita berdua, Ezi?!
Tapi sudahlah, dia sudah punya pacar sekarang. Toh, dia punya pacar atau tidak tetap sama saja untukku. Dia tetap seperti Ezi yang kukenal, yang selalu
menanyakan kabarku dan memberi perhatiannya padaku. Lagipula, dimalam sebelum Ezi nembak Iin, Ezi meminta pendapatku dulu. Bisa dibayangkan betapa
pentingnya pendapatku? Hahaha.
Selanjutnya
Rio. Rio adalah seorang teman yang kukenal sekitar hampir setahun yang lalu.
Kami saling mengenal karena sama-sama mengikuti sebuah perkumpulan pelajar. Ternyata
dia berasal dari kota sebelah, bisa dibilang kota tetangga. Pertemuan kami
memang singkat, tapi entah mengapa sepertinya cukup berarti. Sama seperti Ezi, Rio juga pecinta musik tapi ia lebih sering ditempatkan sebagai bassist. Hal tergila adalah, bahkan
sebelum kami saling mengenal, Rio sudah punya pacar. Awalnya aku tidak begitu
memikirkannya, aku selalu membalas pesan-pesan yang Rio kirim untukku, hingga
akhirnya aku tak sengaja menemukan account
twitter pacarnya dan melihat tweet-tweet galau semenjak…..semenjak aku dan
Rio mulai dekat. Setelah itu aku memutuskan untuk membicarakannya dengan Rio,
dan singkat cerita, Rio tidak pernah menghubungiku lagi. Sampai hari ini ia
kembali lagi menghubungiku. Tapi, aku tahu dia masih berpacaran dengan pacarnya
itu. Kenapa aku tahu? Begini, tadi pagi Rio mengirimiku pesan lewat facebook, aku lupa memencet pilihan turn-off chat seperti biasanya. Saat
siang kulihat Rio sudah membaca pesan itu, tapi dia tidak membalasnya lagi dan
saat itu juga pacar Rio meng-add account-ku.
Mencurigakan? Pasti mengerti maksudku.
Dari
ceritaku ini, apa aku jahat? Baik Ezi atau Rio, mereka berdua sudah punya
pacar dan seharusnya mereka tidak lagi berakrab-ria, membicarakan hal tak
penting alias basa-basi dengan cewek lain. Iya, kan? Lalu bagaimana denganku?
Heran, kenapa aku malah ‘berurusan’ dengan cowok-cowok yang sudah taken? Lagipula, kenapa juga mereka
masih saja menghubungiku? Tadinya aku sudah tidak membalas sms Rio saat kurasa
tidak ada lagi yang perlu dibalas, namun Rio malah mengirimiku sms dengan
membuka topik baru dan ini sudah dua kali terulang. Jadi, kuputuskan untuk
mengikuti alur saja. Aku jadi penasaran, apa besok Rio akan mengirim morning text seperti yang dulu sering ia
lakukan?
Dan
yang terakhir adalah Jere. Aku dan Jere bertemu sekitar tiga bulan yang lalu
saat aku berlibur disebuah tempat untuk memperdalam pengetahuan bahasa asing. Pertemuan
kami tidak lebih dari dua minggu, sama seperti Rio. Namun, lagi-lagi pertemuan
ini menjadi berarti. Kami punya banyak kesamaan yang sangat mengejutkan,
seakan-akan kami adalah anak kembar, bahkan sekedar tanggal lahir yang berbeda
hanya sehari. Pertemuan kami berdua pun bisa dibilang cukup unik, tapi
kuputuskan untuk tidak menceritakan detailnya. Singkat cerita, aku pernah pergi
berdua bersamanya, menghabiskan beberapa jam bersama dimalam sebelum aku akan
pulang. Padahal biasanya aku tak mudah memercayai orang, apalagi yang baru
kukenal. Namun selama kurang-lebih dua minggu mengenalnya, kuterima ajakannya
untuk dinner. Ngomong-ngomong ini
bukan dinner dalam arti candle light dinner. Hanya sekedar makan
bareng dan ngobrol-ngobrol. Semua yang kubicarakan
selalu ‘nyambung’ dengan baik bersamanya. Tentu, dia cerdas, apalagi dengan
umurnya yang sudah tidak lagi remaja sepertiku. Dia seperti
seorang teman, saudara, dan pacar (?) diwaktu yang bersamaan.
Sayangnya,
aku sering mendengar kabar kalau dia tidak sebaik apa yang dia perlihatkan
padaku. Dia playboy, dia sering memainkan hati cewek-cewek. Dia tidak sebaik yang kupikir selama ini. Kuakui,
aku antara percaya dan tidak percaya. Percaya karena bisa saja ia memang
membodohiku, toh aku hanya anak SMA yang ia temui tidak lebih dari dua minggu,
dan tidak percaya karena aku belum melihat buktinya. Tapi, ia pernah menghilang
sekitar seminggu saat aku sudah pulang, dan saat itu salah satu temanku yang
masih disana mengabariku kalau Jere sedang dekat dengan cewek lain. Lalu? Hah,
aku bisa apa? Aku bukan siapa-siapanya Jere.
Tapi
bukan disana letak permasalahannya. Masalahnya, Jere memberikan banyak harapan.
Harapan tentang masa depan. Ia mengucapkan janji untuk menemuiku lagi, ia
memberiku sebuah benda sebagai penanda bahwa kami akan bertemu lagi. Dan
lain-lain. Lain-lain. Harapan lainnya. Maksudku,
jika ia hanya ingin bermain-main denganku, dia tidak perlu melakukan ini, tidak
perlu melempar harapan padaku yang membuatku bingung harus bagaimana. Jadi, jika ia benar-benar hanya mempermainkanku, dia sangat keterlaluan.
Dan
setelah seminggu dengan dugaan paling menyedihkan sedunia itu, dia muncul lagi.
Seolah tanpa dosa. Aku sendiri tidak pernah mengungkit masalah itu. Sampai detik
ini pun aku tidak pernah membicarakan hal itu. Aku tidak tertarik, tidak
berminat, tidak mau membahas hal yang akan menyakitkanku. Bodoh mungkin,
seharusnya aku tidak menerjunkan diri kedalam kebohongannya. Tapi sudahlah,
sampai hari ini aku masih berhubungan dengannya bersama dengan harapan yang ia
gantungkan untuk ‘kami’. Aku tidak tahu sampai kapan semua ini berjalan, apa
mungkin akan berakhir dan ia menghilang atau memang semua akan berjalan
baik-baik saja. Yang pasti, selama ia menghubungi, aku masih tetap ada.
Sekarang aku memutuskan untuk masa bodoh dengan semuanya. Masa bodoh siapa aku
dianggapnya. Menyedihkan.
Aku jadi ingat sebuah quote yang kubaca entah dimana (aku lupa), katanya : "You can be in a relationship for 2 years and feel nothing; you could be in a relationship for 2 weeks and feel everything. Time is not a measure of love."
Tapi, pertanyaannya, yang aku rasakan sekarang sebenarnya apa?
Aku jadi ingat sebuah quote yang kubaca entah dimana (aku lupa), katanya : "You can be in a relationship for 2 years and feel nothing; you could be in a relationship for 2 weeks and feel everything. Time is not a measure of love."
Tapi, pertanyaannya, yang aku rasakan sekarang sebenarnya apa?
Oke,
mereka bertiga yang muncul hari ini. Kadang ada beberapa lagi yang muncul, tapi
biasanya hanya sebentar karena aku sendiri seringkali membalas pesan seadanya.
Ntahlah ada apa denganku.
Yang
pasti, aku hampir tidak pernah kesepian karena ponselku selalu berdering setiap hari meskipun dengan frekuensi
yang berbeda-beda. Tapi kadang… aku butuh kepastian juga.
Comments
Post a Comment