Khayalan
Langit
semakin kelabu dengan angin yang berhembus kencang dan dedaunan kering yang
menari mengikuti arah angin. Namun semua itu sama sekali tidak mengusik gadis
yang duduk didepan sebuah pohon besar dengan seulas senyum diwajahnya. Ia sama
sekali tidak terganggu, bahkan saat beberapa dedaunan kering berhenti diatas
kepalanya, ia tetap saja bergeming. Ia terlalu asik dengan dunianya
sampai-sampai tak menyadari keadaan sekitar. Baginya bertemu perempuan cantik
yang duduk dihadapannya saat ini adalah hal terpenting didunia.
“Kapan
Kak Yola pulang ke rumah? Viska kesepian kak,” ucap gadis bernama Viska
tersebut. Ia menghela nafas saat perempuan yang dipanggilnya ‘Kak Yola’ itu
hanya tersenyum. Selalu begitu. Kakaknya tak pernah mau berbicara, yang
dilakukannya hanya tersenyum. Viska bingung harus bagaimana.
Entah
sudah berapa lama kakaknya pergi dari rumah dan berdiam ditempat yang saat ini
didatangi Viska. Hampir tiap hari ia menemui Yola dibawah pohon. Ia selalu
memohon pada Yola untuk pulang ke rumah, namun tetap saja sia-sia. Yola selalu
bergeming. Pada akhirnya Viska akan lelah memohon dan mulai bercerita tentang
kejadian yang ia alami hari itu. Sudah pasti Yola tak menanggapi dengan
kata-kata, tapi setidaknya senyum Yola sudah bisa memuaskan hati Viska. Ia
sangat menyayangi saudara satu-satunya itu.
Tiba-tiba
terdengar seseorang berdeham dibelakang Viska. Viska memutar bola matanya,
sebal. Itu Pak Jono, supir pribadinya. Biasanya kalau Pak Jono sudah begitu,
artinya Viska harus pulang.
“Bapak
balik ke mobil aja, panasin mesin. Bentar lagi Viska selesai,” ucap gadis itu
tanpa menoleh sedikitpun. Ia memicingkan telinganya, memastikan langkah kaki
Pak Jono yang menjauh. Kembali ia berfokus pada kakaknya dan tersenyum kecut.
“Kak, Viska pulang dulu. Besok Viska bakal ngunjungin Kak Yola lagi. Ada
baiknya kakak mulai berpikir buat pulang karena semua orang di rumah kangen
banget sama kakak.” Viska berdiri dan membersihkan celananya yang sedikit
kotor. Ia mencium pipi Yola dan berbisik, “Bye,
kak. Take care.”
Dengan
berat hati, Viska melangkahkan kakinya menuju mobil yang sudah menunggunya.
Sekali lagi ia menoleh dan tersenyum saat melihat Yola yang memerhatikannya
sambil tersenyum pula. Viska melambaikan tangannya dan masuk kedalam mobil.
Airmata mulai membuat sungai kecil dipipinya dan segera ia menghapusnya. Selalu
saja begini, Viska tak pernah bisa menahan tangis tiap ia mengunjungi kakaknya.
***
“Kamu
tadi kemana, sayang?” tanya Pak Andrean, Papa Viska. Lelaki itu mengintip Viska
dari sudut matanya sambil menyuap makanan kedalam mulutnya, bertingkah seolah
pertanyaannya bukan hal penting.
“Ngunjungin
Kak Yola, Pa,” jawab Viska tanpa melirik sedikitpun kearah Papanya. Ia sendiri
sibuk menyuapkan makanan kedalam perutnya. Namun ia sadar, Papa dan Mamanya
berhenti beraktivitas sejenak saat mendengar jawabannya. Ah, aneh sekali.
Kenapa Papa dan Mamanya selalu terlihat tidak suka kalau ia mengunjungi Yola?
Pak
Andrean berdeham dan segera meneguk air putih dihadapannya. Bu Liana, Mama
Viska, kembali menggerakkan sendok dan garpu ditangannya kemudian mulai menyuap
makanan. Keheningan menyergapi sekeliling meja makan untuk beberapa saat hingga
akhirnya Viska memutuskan untuk berbicara.
“Pa,
Ma, kenapa sih Kak Yola pergi? Kenapa Papa sama Mama gak jemput kesana?”
Pak
Andrean membuka mulutnya, bersiap untuk menjawab hal yang paling masuk akal
untuk dijawab, namun tiba-tiba Bu Liana segera menjawab. “Sayang, biarkan
kakakmu membuat keputusannya sendiri.”
Viska
menatap Mamanya sambil mengernyit. Ia sama sekali tidak mengerti pada
orangtuanya. Setega itukah mereka membiarkan Yola pergi dari rumah dan tinggal
dibawah pohon? Yola itu anak perempuan, mengapa mereka membiarkan Yola
luntang-lantung tak jelas diluar sana?
Viska
menggelengkan kepalanya. “Papa Mama kenapa, sih? Udah lama Kak Yola pergi dari
rumah. Kita juga tahu Kak Yola ada dimana. Kenapa gak paksa Kak Yola untuk
pulang? Viska nggak ngerti! Nggak ngerti!” tukas Viska dengan frustasi. Tanpa
ia sadari ia melempar sendok dan garpu digenggamannya dan mulai
menggeleng-geleng tak jelas. Ia menunduk dan meremas rambutnya, pusing sekali.
Kenapa semua ini membuat kepalanya sakit?
“Viska?
Kamu nggak apa sayang?” Bu Liana merangkul Viska dan membantu gadis itu meminum
air putih. “Yuk kita ke kamar aja.”
Mama
dan Papa Viska membantu gadis itu berdiri kemudian membawanya ke kamar. Mereka
membaringkan Viska yang kini terlihat begitu lemah dengan mata setengah
tertutup. Dengan cekatan Papa membalut tubuh Viska dengan selimut. Mama duduk
disamping ranjang sambil mengelus rambut anak gadisnya. Mereka berdua
berpandangan dengan tatapan yang begitu sulit ditebak—khawatir, sedih, takut,
semua tercampur disana.
***
“Ayo
pulang, Viska!” kali ini Pak Andrean berteriak. Ia tak lagi peduli dengan
beberapa orang disana yang menatap keluarga mereka dengan heran.
Viska
masih duduk ditempat yang sama, tak menghiraukan sama sekali. Matanya lurus
menatap kedalam mata Yola. Ia rindu—rindu sekali pada kakaknya. Hanya Yola
saudaranya sekaligus orang yang selalu melindunginya, selalu melakukan semua
yang Viska inginkan, dan sangat menyayangi Viska. Ia hanya ingin Yola pulang ke
rumah. Itu saja permintaannya.
“Viska!
Dengarkan Papa bicara!” Pak Andrean menyentuh bahu Viska dengan tak sabar.
Viska akhirnya menoleh dan menatap Papanya dengan tajam. Ada apa dengan lelaki
ini? Ia hanya ingin bertemu kakaknya!
Bu
Liana menghambur pada Viska. Wanita itu memeluk dan mengecup pipi putrinya
sambil tak kuasa menahan tangis. “Nak, ayo pulang. Mama mohon sama kamu, jangan
begini. Ayo kita pulang, sayang,” bisik Bu Liana.
Viska
terdiam. Ia tak biasa melihat Mamanya menangis. Seketika hatinya ikut hancur
melihat Mamanya menangis karena dirinya. Hanya saja ia tak mengerti ada apa
dengan orangtuanya. Ia hanya mengunjungi Yola, apa itu salah?
“Ma,
Pa, Viska kangen sama kak Yola,” ucap Viska pelan sambil melirik kakaknya yang
masih duduk mematung disana. Kemudian ia berpaling dan menatap Mamanya. “Kalo
Kak Yola pulang, Viska janji gak bakal ngisengin Kak Yola lagi. Viska gak akan
marah kalo Kak Yola masuk kamar seenaknya dan tidur sama Viska. Viska juga
bakal bagiin makanan punya Viska ke Kak Yola. Viska janji Ma, Pa.”
Mama
semakin menangis, bahunya berguncang hebat sambil memeluk Viska. Sedangkan Papa
terdiam dan ikut berjongkok disamping Viska dan Mama. “Nak, kakakmu nggak bisa
pulang. Yola nggak bisa kembali ke rumah, sayang. Kamu harus mengerti itu.”
“Kenapa,
Pa?” tanya Viska. Ia menatap Yola yang duduk tenang didepan pohon. “Kenapa Kak
Yola nggak mau pulang? Kakak benci sama Viska?” tanya Viska, ia mulai menangis.
“Kak! Jawab, kak! Viska gak tahu harus gimana kalo kakak cuma bisa diem aja!
Ayo pulang!”
Dan
setelah itu, Viska tak sanggup berkata apa-apa lagi. Ia bingung bagaimana
caranya meminta orangtuanya membujuk Yola agar kembali ke rumah, ditambah lagi
Yola yang hanya bisa diam dengan senyumnya. Semua ini menyiksa Viska. Ia sama
sekali tak mengerti apa yang terjadi di keluarganya.
“Ayo
kita pulang, sayang. Biarkan kakakmu disini. Yola ingin disini,” bisik Mama
saat tangisnya telah mereda. Perlahan Mama berdiri diikuti oleh Viska yang
masih berada dalam pelukan. Papa segera ikut merangkul Viska dan menuntunnya
pergi.
Tanpa
disadari kedua orangtuanya, Viska menoleh pada Yola yang kini tersenyum
padanya. Ia menggerakkan mulutnya tanpa suara yang berkata ‘pulanglah’.
***
“Pa!
Viska nggak ada!” teriak Liana sambil berlari turun kelantai bawah.
Andrean
yang sedang melepaskan dasinya tiba-tiba langsung berlari menghampiri istrinya
yang berteriak panik. “Viska? Ada apa dengan Viska?” tanyanya sambil
mencengkram bahu Liana dengan tegang.
“Mama
sudah nyari Viska ke seisi rumah, tapi dia nggak ada. Si bibi dan Pak Jono juga
sudah mencari kemana-mana. Tapi Viska nggak ada, Pa!” jawab Liana panik. Matanya
dengan liar menyapu seisi rumah, berharap mungkin ada salah satu sudut atau
bagian rumah yang belum diperiksa. Tapi itu tak mungkin. Viska selalu berada di
kamarnya, atau dihalaman belakang sambil melukis di kanvas.
“Atau
jangan-jangan Viska ada disana?” ucap Andrean pelan diikuti helaan nafas dari
Liana. Ya, mereka berdua yakin Viska ada disana; mengunjungi Yola. “Mama telpon
Pak Jono dan suruh dia susul Viska kesana. Tunggu didepan, Papa keluarkan
mobil.” Andrean segera merampas kunci mobil diatas meja dan berlari ke garasi,
sedangkan Liana segera mengeluarkan ponselnya dan menghubungi Pak Jono.
***
“Oke,
mungkin kakak memang gak mau pulang. Viska ngerti kok, kak. Tapi seandainya
kakak mau pulang, pasti Viska gak bakal nakal lagi sama kakak. Viska bakal
baik, bagi makanan, dan kakak bebas mau ngapain aja dikamar Viska. Gimana?”
Viska melirik Yola yang duduk disampingnya. Ia tersenyum kecil dan memeluk Yola
yang masih duduk mematung disana. “Viska kangen… kangen banget sama kakak.”
Viska
menyandarkan kepalanya ke bahu Yola dan memejamkan matanya. Ia ingin menghirup
bau parfume favorit kakaknya, namun sepertinya Yola sudah tidak lagi memakai
parfume itu. Sekarang Yola berbau bunga, tapi tetap saja Viska suka itu.
“Dirumah
sepi banget kalo nggak ada kakak. Cuma berlima sama Papa, Mama, bibi, dan Pak
Jono. Dan semenjak Viska ikut homeschooling,
satu persatu temen Viska hilang. Sebenarnya mau protes sama Papa dan Mama,
tapi Viska sendiri juga takut balik ke sekolah umum. Katanya, Viska suka
ngamuk-ngamuk sendiri dan itu sangat mengganggu yang lain.” Viska menghela
nafas dan membuka matanya, ia melirik Yola yang masih duduk disana. Bibir Yola
tertarik sedikit, menandakan gadis itu tersenyum dan Viska yakin Yola
mendengarkannya. “Sebenarnya, Viska sendiri gak ngerti kenapa Viska suka
ngamuk-ngamuk. Lagian anak-anak disekolah itu nyebelin, suka ganggu dan ngatain
Viska gila.” Tiba-tiba Viska duduk tegak dan menghentakkan tangannya ketanah. Ia
melemparkan kerikil yang ada didekatanya dengan gemas.
“Mereka
yang gila! Bukan Viska!” pekik Viska geram. Namun sedetik kemudian ia menarik
nafas dan kembali tenang. Ia melirik Yola yang masih menatapnya dengan senyuman
dan tanpa sadar ia ikut tersenyum. Kembali ia menyandarkan kepalanya kebahu
Yola. “Kak Yola tahu? Cuma kakak yang ngerti Viska. Bahkan Papa Mama juga udah
mulai nyebelin. Viska ngerasa mereka nganggep Viska udah gila, sama kayak
temen-temen di sekolah. Masa Viska dibawa ke psikiater? Itu artinya mereka
nganggap Viska gila kan?”
Angin
berhembus menerpa wajah Viska. Rambutnya mengikuti angin dengan lembut. Viska memejamkan
mata dan menghayati tiap hembusan yang menyejukkannya. Duduk dibawah pohon
rindang ditemani Kak Yola, ditambah angin yang seakan menyambutnya, membuat Viska
merasa berada ditempat ternyaman sedunia. Ia sudah senang berada disini. Ia tak
mau beranjak sama sekali.
“Kak,
Viska memutuskan untuk ikut Kak Yola. Viska gak mau pulang ke rumah. Viska mau
disini sama kakak. Entahlah sebenarnya kakak tinggal dimana, yang pasti Viska
maunya ikut kakak. Kemanapun Kak Yola pergi, Viska bakal ikut,” kata Viska
tegas. Ia tak peduli bagaimana pikiran Yola, yang pasti ia akan ikut kemanapun
Yola pergi. Ia menganggap, diamnya Yola berarti sebuah persetujuan.
Viska
merebahkan tubuhnya dipaha Yola. Ia lelah sekali. Udara yang mendukung semakin
membuatnya ingin memejamkan mata dan tidur dipangkuan kakaknya. Untuk beberapa
saat Viska menikmati momen ini; bebas, lepas, dan bahagia.
“Non
Viska?” sebuah suara memecahkan konsentrasi Viska yang tengah mencoba untuk
tidur. Viska kenal pasti itu suara siapa. Ah, kenapa disaat-saat seperti ini
orang seperti Pak Jono muncul?
“Kenapa,
Pak? Viska mau tidur!” tukas Viska tanpa membuka matanya.
“Non
dicari Bapak sama Ibu. Mereka cemas sekali.”
“Viska
gak kenapa-napa kan? Udah, bilang sama Papa Mama kalo Viska ada disini. Dan Pak
Jono, tolong jangan ganggu Viska. Oke?”
Tak
ada jawaban dari Pak Jono. Viska sendiri bisa mendengar langkah kaki Pak Jono
yang menjauh. Mungkin ia ingin melaporkan pada orangtua Viska ada dimana gadis
itu sekarang. Viska memang tidak berniat diantar siapapun. Ia ingin pergi
menemui Yola sendirian, tanpa ada yang mengiringnya dibelakang seperti anak
kecil. Ia sudah 15 tahun, sudah bisa jalan-jalan sendiri. Apalagi sekedar
menemui Yola yang hampir selalu ditemuinya tiap hari.
Sesaat
kemudian, Viska sudah benar-benar tertidur dan tak tahu lagi apa yang terjadi
disekitarnya hingga tiba-tiba ia dibangunkan oleh suara Mamanya.
“Mama?”
ucap Viska sambil memicingkan matanya, berusaha melihat sosok dihadapannya
dengan jelas. Viska duduk dan terdiam saat menyadari Yola sudah tak ada disana.
Kemana kakaknya pergi? Ini pertama kalinya Yola meninggalkannya, apalagi saat
Viska sedang tertidur. “Kak Yola mana?” tanya Viska dengan mata yang
mencari-cari sosok Yola.
Tiba-tiba
Bu Liana menangis dan memeluk Viska. Viska mengernyit, tidak mengerti akan apa
yang terjadi. Mengapa Mamanya menangis lagi? Apa jangan-jangan terjadi sesuatu
pada Yola?
“Kenapa
Mama nangis? Apa ada sesuatu sama Kak Yola?” Viska segera menyuarakan isi
pikirannya.
“Sayang…
sayang, Mama mohon jangan begini lagi. Sadarlah nak, sadar!” Mama mengguncang
tubuh Viska.
“Mama
kenapa? Sadar apa, Ma? Viska nggak ngerti!” tukas Viska frustasi. Ia segera
berdiri dan membersihkan baju dan celananya yang kotor oleh tanah. Rambutnya
pun ikut kotor karena tanah menempel disana.
Papa
berjalan mendekat dan mencengkram bahu putrinya. Ia menatap mata Viska dalam
dan lama, kemudian mengembuskan nafas dan mulai berbicara. “Sayang, dengan
sangat menyesal Papa harus mengatakan yang sebenarnya—”
“Cukup,
Pa!” teriak Mama tiba-tiba. Wanita itu berdiri dan memegang tangan Papa yang
masih mencengkram bahu Viska. “Cukup,” bisiknya.
Papa
menggeleng kemudian kembali menatap putrinya yang kebingungan. “Dengan sangat
menyesal, Papa katakan kalau Yola sudah tiada, sayang. Kakakmu sudah meninggal tiga
bulan yang lalu setelah kalian kecelakaan. Maaf karena Papa memberitahukan yang
sebenarnya, kami sudah tidak sanggup melihat keadaanmu yang seperti ini, nak,”
ucap Papa. Pelan, tegas, jelas, dan sangat menusuk.
Detik
itu juga Viska jatuh terduduk. Ia menangis dan tak sanggup berucap apa-apa
lagi. Yola sudah meninggal? Yang benar saja! Lalu siapa yang selama ini ia
temui kalau bukan Yola? Viska yakin itu kakaknya. Ia bisa memeluk, bahkan
mencium kakaknya. Tak mungkin kakaknya sudah meninggal!
Tubuh
Viska menegang, matanya masih membalas tatapan Papanya, ia mencari kebohongan
disana, namun sayangnya ia tahu Papanya tak berbohong. Mamanya sendiri terus
menangis dan memeluknya erat, namun ia tetap bergeming. Setetes-dua tetes
airmata mulai mengalir dan bahunya ikut berguncang. Menangislah, Viska! Tak ada
lagi yang bisa kamu lakukan!
“Nggak
mungkin,” bisik Viska sambil menggeleng. “Itu nggak mungkin!” ia memekik
frustasi. Dengan segenap kekuatan, ia mulai berbicara. “Lalu siapa yang selama
ini Viska temui, Pa! Kak Yola duduk dihadapan Viska dan duduk dibawah pohon
itu! Ia tersenyum pada Viska! Dan tadi Viska tidur dipangkuannya! Nggak mungkin
Kak Yola sudah meninggal! Ia hanya pergi dari rumah seperti yang Papa Mama
bilang sebelumnya!” Nafas Viska memburu, airmata masih mengalir, pikirannya
kacau.
“Viska..”
Papa mendekati Viska dan menggenggam tangan putrinya. “Semua itu hanya
khayalanmu, nak. Yola tidak ada disana. Tak ada yang melihat Yola disana selain
kamu. Kamu hanya berkhayal, nak. Semua itu tidak nyata.” Kembali Papa menatap
mata Viska, namun gadis itu menolak dan menundukkan kepala. “Apa kamu sadar
kita sekarang ada dimana, sayang? Kita ada di Pemakaman Umum! Sadarlah, nak!
Tempatmu melihat Yola adalah makamnya. Disana peristirahatan terakhir Yola. Sadarlah
dan lihat dengan jelas, sayang. Disana adalah makam! Disana ada nisan Yola!”
Viska
menatap dibawah pohon tempat Yola biasa duduk. Ia memicingkan matanya dan
berjalan mendekat. Tiba-tiba Yola ada disana, masih duduk ditempat biasa sambil
tersenyum. Viska berhenti melangkah. Matanya membulat melihat siapa disana. “Kak
Yola?” panggilnya ragu. Namun tiba-tiba sosok Yola tergantikan oleh sebuah batu
nisan. Dengan segera, Viska menyipitkan matanya dan kembali melihat kebawah
pohon. Ada sosok Yola disana, namun sedetik kemudian malah batu nisan yang ia
lihat.
Yola…..nisan…..Yola……nisan….kemudian
Yola lagi…
Viska
meremas rambutnya. Ia berteriak histeris. Semua pemandangan itu membuatnya
bingung dan sakit kepala. Kenapa yang ia lihat selalu berubah-ubah? Sekarang ia
tak tahu mana yang nyata dan mana yang khayalan. Tadi ia melihat Yola tersenyum
disana, namun segera digantikan oleh batu nisan.
Viska
berteriak, meremas rambutnya dan menghentakkan kakinya ketanah. Bu Liana dan
Pak Andrean segera berusaha menenangkan putri mereka. Beberapa pengunjung makam
mendekat dengan cemas dan mulai bertanya apa yang terjadi dengan panik.
Tiba-tiba
Viska berhenti berteriak, matanya mengerjap-ngerjap, sekelilingnya tak lagi
fokus. Hal terakhir yang ia ingat adalah ucapan Papanya bahwa Yola sudah tiada
dan tempat ini adalah pemakaman umum. Setelah itu, ia tak sadarkan diri.
***
Viska
menatap hasil lukisannya dengan puas. Ia tersenyum miring melihat lukisannya
bersama Yola duduk dibawah pohon. Disana terlihat Viska menyandarkan kepalanya
dibahu Yola dan kakaknya tersenyum lebar. Cantik. Sangat cantik.
Viska
membawa lukisan itu kedalam kamarnya dan menggantung benda itu disalah satu
dinding yang masih kosong. Dinding kamarnya sudah hampir penuh dengan lukisan
karyanya dengan berbagai ukuran kanvas. Ada lukisan abstrak hingga pemandangan,
namun lukisan keluarganya—terutama Yola dan dia—memiliki jumlah terbanyak.
Sekali
lagi Viska memandangi mahakaryanya dengan puas. “Kak Yola yang cantik, lukisan
ini Viska buat spesial buat kakak dan kayaknya sekaligus lukisan terakhir
Viska. Sebentar lagi Viska bakal nyusul kakak kesana. Tolong sambut Viska ya,
kak!”
Viska
mengitari kamarnya dan menikmati setiap benda yang ada disana. Ia peluk boneka
kesayangannya satu persatu, ia pegang semua pernak-pernik disana, ia nikmati
tiap detik didalam kamarnya yang luas. Ia menarik nafas dan berusaha merasakan
sensasi aneh yang ia rasakan saat ini. Udara dingin dari AC dikamarnya
sedikitnya dapat membantu menenangkan hatinya yang panas.
Ia
berjalan mendekati lemari kecil disamping ranjangnya dan mengambil foto
keluarganya disana. Jarinya menyentuh setiap potret diri disana; Papa, Mama,
Kak Yola, dan dirinya sendiri. Terakhir, dikecupnya foto tersebut dengan sayang
dan dipeluknya. “Aku sayang kalian,” bisiknya sambil tersenyum dan menutup mata.
Tangan
kanan Viska terulur kedalam saku celananya. Sebuah pisau lipat kini berada
digenggaman. Ia tersenyum kecut sambil membuka matanya dan memastikan telah
memegang benda yang tepat. Kemudian ia menutup matanya lagi, tersenyum,
melempar tubuhnya keranjang, dan menusuk dirinya sendiri dengan pisau lipat
tersebut…..tepat di jantung.
***
Lagu
Rap God dari Eminem memecah kesunyian
malam didalam mobil Jazz yang diisi
oleh dua orang perempuan cantik didalamnya. Mereka berdua menggerakkan badan
sesuai irama yang mengalun dengan keras.
“Gua
capeeekkkk sama hidup!” teriak Yola sambil memukul kemudi.
Viska
tersenyum miring dan menepuk bahu kakaknya. “Sabar ya! Hidup itu emang kadang
nyebelin kak. Terima aja!” balas Viska.
Yola
mengangkat bahunya dan tertawa. "Gua selalu nerima apapun. Termasuk orangtua
yang nyebelin dan temen-temen yang kayak iblis, sekalian semua cobaan hidup!
Meskipun lo tahu gua depresi banget dan pengen mati!”
Mobil
itu terus melaju dengan kecepatan yang entah berapa. Sangat cepat menembus
gelapnya malam. Namun dua orang didalamnya terlihat biasa-biasa saja dan asik
dengan kegilaan diantara mereka.
Tiba-tiba
ponsel Yola bergetar didalam saku celana jeansnya. Ia berusaha mengambil ponsel
tersebut namun ponsel itu malah terjatuh didekat kakinya. “Shit!” maki Yola. Ia menggapai-gapai ponsel tersebut dengan tangan
kirinya, matanya tak lagi fokus dengan jalanan dan mobil masih melaju kencang, hingga
tiba-tiba cahaya putih melingkupi mereka.
“Awas
kak!” teriak Viska histeris.
Entah
apa yang terjadi, setelah itu Viska koma selama seminggu-lebih. Dan saat
membuka mata, ia tahu dirinya bukanlah ‘dirinya’ yang dulu lagi. Ia sudah gila.
Ia tahu itu, ia hanya menyangkalnya.
***
oleh: Naura Hafiza A
Comments
Post a Comment