Khayalan



Langit semakin kelabu dengan angin yang berhembus kencang dan dedaunan kering yang menari mengikuti arah angin. Namun semua itu sama sekali tidak mengusik gadis yang duduk didepan sebuah pohon besar dengan seulas senyum diwajahnya. Ia sama sekali tidak terganggu, bahkan saat beberapa dedaunan kering berhenti diatas kepalanya, ia tetap saja bergeming. Ia terlalu asik dengan dunianya sampai-sampai tak menyadari keadaan sekitar. Baginya bertemu perempuan cantik yang duduk dihadapannya saat ini adalah hal terpenting didunia. 

“Kapan Kak Yola pulang ke rumah? Viska kesepian kak,” ucap gadis bernama Viska tersebut. Ia menghela nafas saat perempuan yang dipanggilnya ‘Kak Yola’ itu hanya tersenyum. Selalu begitu. Kakaknya tak pernah mau berbicara, yang dilakukannya hanya tersenyum. Viska bingung harus bagaimana.

Entah sudah berapa lama kakaknya pergi dari rumah dan berdiam ditempat yang saat ini didatangi Viska. Hampir tiap hari ia menemui Yola dibawah pohon. Ia selalu memohon pada Yola untuk pulang ke rumah, namun tetap saja sia-sia. Yola selalu bergeming. Pada akhirnya Viska akan lelah memohon dan mulai bercerita tentang kejadian yang ia alami hari itu. Sudah pasti Yola tak menanggapi dengan kata-kata, tapi setidaknya senyum Yola sudah bisa memuaskan hati Viska. Ia sangat menyayangi saudara satu-satunya itu.

Tiba-tiba terdengar seseorang berdeham dibelakang Viska. Viska memutar bola matanya, sebal. Itu Pak Jono, supir pribadinya. Biasanya kalau Pak Jono sudah begitu, artinya Viska harus pulang.

“Bapak balik ke mobil aja, panasin mesin. Bentar lagi Viska selesai,” ucap gadis itu tanpa menoleh sedikitpun. Ia memicingkan telinganya, memastikan langkah kaki Pak Jono yang menjauh. Kembali ia berfokus pada kakaknya dan tersenyum kecut. “Kak, Viska pulang dulu. Besok Viska bakal ngunjungin Kak Yola lagi. Ada baiknya kakak mulai berpikir buat pulang karena semua orang di rumah kangen banget sama kakak.” Viska berdiri dan membersihkan celananya yang sedikit kotor. Ia mencium pipi Yola dan berbisik, “Bye, kak. Take care.


Dengan berat hati, Viska melangkahkan kakinya menuju mobil yang sudah menunggunya. Sekali lagi ia menoleh dan tersenyum saat melihat Yola yang memerhatikannya sambil tersenyum pula. Viska melambaikan tangannya dan masuk kedalam mobil. Airmata mulai membuat sungai kecil dipipinya dan segera ia menghapusnya. Selalu saja begini, Viska tak pernah bisa menahan tangis tiap ia mengunjungi kakaknya.
***

“Kamu tadi kemana, sayang?” tanya Pak Andrean, Papa Viska. Lelaki itu mengintip Viska dari sudut matanya sambil menyuap makanan kedalam mulutnya, bertingkah seolah pertanyaannya bukan hal penting.

“Ngunjungin Kak Yola, Pa,” jawab Viska tanpa melirik sedikitpun kearah Papanya. Ia sendiri sibuk menyuapkan makanan kedalam perutnya. Namun ia sadar, Papa dan Mamanya berhenti beraktivitas sejenak saat mendengar jawabannya. Ah, aneh sekali. Kenapa Papa dan Mamanya selalu terlihat tidak suka kalau ia mengunjungi Yola?

Pak Andrean berdeham dan segera meneguk air putih dihadapannya. Bu Liana, Mama Viska, kembali menggerakkan sendok dan garpu ditangannya kemudian mulai menyuap makanan. Keheningan menyergapi sekeliling meja makan untuk beberapa saat hingga akhirnya Viska memutuskan untuk berbicara.

“Pa, Ma, kenapa sih Kak Yola pergi? Kenapa Papa sama Mama gak jemput kesana?”

Pak Andrean membuka mulutnya, bersiap untuk menjawab hal yang paling masuk akal untuk dijawab, namun tiba-tiba Bu Liana segera menjawab. “Sayang, biarkan kakakmu membuat keputusannya sendiri.”

Viska menatap Mamanya sambil mengernyit. Ia sama sekali tidak mengerti pada orangtuanya. Setega itukah mereka membiarkan Yola pergi dari rumah dan tinggal dibawah pohon? Yola itu anak perempuan, mengapa mereka membiarkan Yola luntang-lantung tak jelas diluar sana?

Viska menggelengkan kepalanya. “Papa Mama kenapa, sih? Udah lama Kak Yola pergi dari rumah. Kita juga tahu Kak Yola ada dimana. Kenapa gak paksa Kak Yola untuk pulang? Viska nggak ngerti! Nggak ngerti!” tukas Viska dengan frustasi. Tanpa ia sadari ia melempar sendok dan garpu digenggamannya dan mulai menggeleng-geleng tak jelas. Ia menunduk dan meremas rambutnya, pusing sekali. Kenapa semua ini membuat kepalanya sakit?

“Viska? Kamu nggak apa sayang?” Bu Liana merangkul Viska dan membantu gadis itu meminum air putih. “Yuk kita ke kamar aja.”

Mama dan Papa Viska membantu gadis itu berdiri kemudian membawanya ke kamar. Mereka membaringkan Viska yang kini terlihat begitu lemah dengan mata setengah tertutup. Dengan cekatan Papa membalut tubuh Viska dengan selimut. Mama duduk disamping ranjang sambil mengelus rambut anak gadisnya. Mereka berdua berpandangan dengan tatapan yang begitu sulit ditebak—khawatir, sedih, takut, semua tercampur disana.
***

“Ayo pulang, Viska!” kali ini Pak Andrean berteriak. Ia tak lagi peduli dengan beberapa orang disana yang menatap keluarga mereka dengan heran.

Viska masih duduk ditempat yang sama, tak menghiraukan sama sekali. Matanya lurus menatap kedalam mata Yola. Ia rindu—rindu sekali pada kakaknya. Hanya Yola saudaranya sekaligus orang yang selalu melindunginya, selalu melakukan semua yang Viska inginkan, dan sangat menyayangi Viska. Ia hanya ingin Yola pulang ke rumah. Itu saja permintaannya.

“Viska! Dengarkan Papa bicara!” Pak Andrean menyentuh bahu Viska dengan tak sabar. Viska akhirnya menoleh dan menatap Papanya dengan tajam. Ada apa dengan lelaki ini? Ia hanya ingin bertemu kakaknya!

Bu Liana menghambur pada Viska. Wanita itu memeluk dan mengecup pipi putrinya sambil tak kuasa menahan tangis. “Nak, ayo pulang. Mama mohon sama kamu, jangan begini. Ayo kita pulang, sayang,” bisik Bu Liana.

Viska terdiam. Ia tak biasa melihat Mamanya menangis. Seketika hatinya ikut hancur melihat Mamanya menangis karena dirinya. Hanya saja ia tak mengerti ada apa dengan orangtuanya. Ia hanya mengunjungi Yola, apa itu salah?

“Ma, Pa, Viska kangen sama kak Yola,” ucap Viska pelan sambil melirik kakaknya yang masih duduk mematung disana. Kemudian ia berpaling dan menatap Mamanya. “Kalo Kak Yola pulang, Viska janji gak bakal ngisengin Kak Yola lagi. Viska gak akan marah kalo Kak Yola masuk kamar seenaknya dan tidur sama Viska. Viska juga bakal bagiin makanan punya Viska ke Kak Yola. Viska janji Ma, Pa.”

Mama semakin menangis, bahunya berguncang hebat sambil memeluk Viska. Sedangkan Papa terdiam dan ikut berjongkok disamping Viska dan Mama. “Nak, kakakmu nggak bisa pulang. Yola nggak bisa kembali ke rumah, sayang. Kamu harus mengerti itu.”

“Kenapa, Pa?” tanya Viska. Ia menatap Yola yang duduk tenang didepan pohon. “Kenapa Kak Yola nggak mau pulang? Kakak benci sama Viska?” tanya Viska, ia mulai menangis. “Kak! Jawab, kak! Viska gak tahu harus gimana kalo kakak cuma bisa diem aja! Ayo pulang!”

Dan setelah itu, Viska tak sanggup berkata apa-apa lagi. Ia bingung bagaimana caranya meminta orangtuanya membujuk Yola agar kembali ke rumah, ditambah lagi Yola yang hanya bisa diam dengan senyumnya. Semua ini menyiksa Viska. Ia sama sekali tak mengerti apa yang terjadi di keluarganya.

“Ayo kita pulang, sayang. Biarkan kakakmu disini. Yola ingin disini,” bisik Mama saat tangisnya telah mereda. Perlahan Mama berdiri diikuti oleh Viska yang masih berada dalam pelukan. Papa segera ikut merangkul Viska dan menuntunnya pergi.

Tanpa disadari kedua orangtuanya, Viska menoleh pada Yola yang kini tersenyum padanya. Ia menggerakkan mulutnya tanpa suara yang berkata ‘pulanglah’.
***

“Pa! Viska nggak ada!” teriak Liana sambil berlari turun kelantai bawah.

Andrean yang sedang melepaskan dasinya tiba-tiba langsung berlari menghampiri istrinya yang berteriak panik. “Viska? Ada apa dengan Viska?” tanyanya sambil mencengkram bahu Liana dengan tegang.

“Mama sudah nyari Viska ke seisi rumah, tapi dia nggak ada. Si bibi dan Pak Jono juga sudah mencari kemana-mana. Tapi Viska nggak ada, Pa!” jawab Liana panik. Matanya dengan liar menyapu seisi rumah, berharap mungkin ada salah satu sudut atau bagian rumah yang belum diperiksa. Tapi itu tak mungkin. Viska selalu berada di kamarnya, atau dihalaman belakang sambil melukis di kanvas.

“Atau jangan-jangan Viska ada disana?” ucap Andrean pelan diikuti helaan nafas dari Liana. Ya, mereka berdua yakin Viska ada disana; mengunjungi Yola. “Mama telpon Pak Jono dan suruh dia susul Viska kesana. Tunggu didepan, Papa keluarkan mobil.” Andrean segera merampas kunci mobil diatas meja dan berlari ke garasi, sedangkan Liana segera mengeluarkan ponselnya dan menghubungi Pak Jono.
***

“Oke, mungkin kakak memang gak mau pulang. Viska ngerti kok, kak. Tapi seandainya kakak mau pulang, pasti Viska gak bakal nakal lagi sama kakak. Viska bakal baik, bagi makanan, dan kakak bebas mau ngapain aja dikamar Viska. Gimana?” Viska melirik Yola yang duduk disampingnya. Ia tersenyum kecil dan memeluk Yola yang masih duduk mematung disana. “Viska kangen… kangen banget sama kakak.”

Viska menyandarkan kepalanya ke bahu Yola dan memejamkan matanya. Ia ingin menghirup bau parfume favorit kakaknya, namun sepertinya Yola sudah tidak lagi memakai parfume itu. Sekarang Yola berbau bunga, tapi tetap saja Viska suka itu.

“Dirumah sepi banget kalo nggak ada kakak. Cuma berlima sama Papa, Mama, bibi, dan Pak Jono. Dan semenjak Viska ikut homeschooling, satu persatu temen Viska hilang. Sebenarnya mau protes sama Papa dan Mama, tapi Viska sendiri juga takut balik ke sekolah umum. Katanya, Viska suka ngamuk-ngamuk sendiri dan itu sangat mengganggu yang lain.” Viska menghela nafas dan membuka matanya, ia melirik Yola yang masih duduk disana. Bibir Yola tertarik sedikit, menandakan gadis itu tersenyum dan Viska yakin Yola mendengarkannya. “Sebenarnya, Viska sendiri gak ngerti kenapa Viska suka ngamuk-ngamuk. Lagian anak-anak disekolah itu nyebelin, suka ganggu dan ngatain Viska gila.” Tiba-tiba Viska duduk tegak dan menghentakkan tangannya ketanah. Ia melemparkan kerikil yang ada didekatanya dengan gemas.

“Mereka yang gila! Bukan Viska!” pekik Viska geram. Namun sedetik kemudian ia menarik nafas dan kembali tenang. Ia melirik Yola yang masih menatapnya dengan senyuman dan tanpa sadar ia ikut tersenyum. Kembali ia menyandarkan kepalanya kebahu Yola. “Kak Yola tahu? Cuma kakak yang ngerti Viska. Bahkan Papa Mama juga udah mulai nyebelin. Viska ngerasa mereka nganggep Viska udah gila, sama kayak temen-temen di sekolah. Masa Viska dibawa ke psikiater? Itu artinya mereka nganggap Viska gila kan?”

Angin berhembus menerpa wajah Viska. Rambutnya mengikuti angin dengan lembut. Viska memejamkan mata dan menghayati tiap hembusan yang menyejukkannya. Duduk dibawah pohon rindang ditemani Kak Yola, ditambah angin yang seakan menyambutnya, membuat Viska merasa berada ditempat ternyaman sedunia. Ia sudah senang berada disini. Ia tak mau beranjak sama sekali.

“Kak, Viska memutuskan untuk ikut Kak Yola. Viska gak mau pulang ke rumah. Viska mau disini sama kakak. Entahlah sebenarnya kakak tinggal dimana, yang pasti Viska maunya ikut kakak. Kemanapun Kak Yola pergi, Viska bakal ikut,” kata Viska tegas. Ia tak peduli bagaimana pikiran Yola, yang pasti ia akan ikut kemanapun Yola pergi. Ia menganggap, diamnya Yola berarti sebuah persetujuan.

Viska merebahkan tubuhnya dipaha Yola. Ia lelah sekali. Udara yang mendukung semakin membuatnya ingin memejamkan mata dan tidur dipangkuan kakaknya. Untuk beberapa saat Viska menikmati momen ini; bebas, lepas, dan bahagia.

“Non Viska?” sebuah suara memecahkan konsentrasi Viska yang tengah mencoba untuk tidur. Viska kenal pasti itu suara siapa. Ah, kenapa disaat-saat seperti ini orang seperti Pak Jono muncul?

“Kenapa, Pak? Viska mau tidur!” tukas Viska tanpa membuka matanya.

“Non dicari Bapak sama Ibu. Mereka cemas sekali.”

“Viska gak kenapa-napa kan? Udah, bilang sama Papa Mama kalo Viska ada disini. Dan Pak Jono, tolong jangan ganggu Viska. Oke?”

Tak ada jawaban dari Pak Jono. Viska sendiri bisa mendengar langkah kaki Pak Jono yang menjauh. Mungkin ia ingin melaporkan pada orangtua Viska ada dimana gadis itu sekarang. Viska memang tidak berniat diantar siapapun. Ia ingin pergi menemui Yola sendirian, tanpa ada yang mengiringnya dibelakang seperti anak kecil. Ia sudah 15 tahun, sudah bisa jalan-jalan sendiri. Apalagi sekedar menemui Yola yang hampir selalu ditemuinya tiap hari.

Sesaat kemudian, Viska sudah benar-benar tertidur dan tak tahu lagi apa yang terjadi disekitarnya hingga tiba-tiba ia dibangunkan oleh suara Mamanya.

“Mama?” ucap Viska sambil memicingkan matanya, berusaha melihat sosok dihadapannya dengan jelas. Viska duduk dan terdiam saat menyadari Yola sudah tak ada disana. Kemana kakaknya pergi? Ini pertama kalinya Yola meninggalkannya, apalagi saat Viska sedang tertidur. “Kak Yola mana?” tanya Viska dengan mata yang mencari-cari sosok Yola.

Tiba-tiba Bu Liana menangis dan memeluk Viska. Viska mengernyit, tidak mengerti akan apa yang terjadi. Mengapa Mamanya menangis lagi? Apa jangan-jangan terjadi sesuatu pada Yola?

“Kenapa Mama nangis? Apa ada sesuatu sama Kak Yola?” Viska segera menyuarakan isi pikirannya.

“Sayang… sayang, Mama mohon jangan begini lagi. Sadarlah nak, sadar!” Mama mengguncang tubuh Viska.

“Mama kenapa? Sadar apa, Ma? Viska nggak ngerti!” tukas Viska frustasi. Ia segera berdiri dan membersihkan baju dan celananya yang kotor oleh tanah. Rambutnya pun ikut kotor karena tanah menempel disana.

Papa berjalan mendekat dan mencengkram bahu putrinya. Ia menatap mata Viska dalam dan lama, kemudian mengembuskan nafas dan mulai berbicara. “Sayang, dengan sangat menyesal Papa harus mengatakan yang sebenarnya—”

“Cukup, Pa!” teriak Mama tiba-tiba. Wanita itu berdiri dan memegang tangan Papa yang masih mencengkram bahu Viska. “Cukup,” bisiknya.

Papa menggeleng kemudian kembali menatap putrinya yang kebingungan. “Dengan sangat menyesal, Papa katakan kalau Yola sudah tiada, sayang. Kakakmu sudah meninggal tiga bulan yang lalu setelah kalian kecelakaan. Maaf karena Papa memberitahukan yang sebenarnya, kami sudah tidak sanggup melihat keadaanmu yang seperti ini, nak,” ucap Papa. Pelan, tegas, jelas, dan sangat menusuk.

Detik itu juga Viska jatuh terduduk. Ia menangis dan tak sanggup berucap apa-apa lagi. Yola sudah meninggal? Yang benar saja! Lalu siapa yang selama ini ia temui kalau bukan Yola? Viska yakin itu kakaknya. Ia bisa memeluk, bahkan mencium kakaknya. Tak mungkin kakaknya sudah meninggal!

Tubuh Viska menegang, matanya masih membalas tatapan Papanya, ia mencari kebohongan disana, namun sayangnya ia tahu Papanya tak berbohong. Mamanya sendiri terus menangis dan memeluknya erat, namun ia tetap bergeming. Setetes-dua tetes airmata mulai mengalir dan bahunya ikut berguncang. Menangislah, Viska! Tak ada lagi yang bisa kamu lakukan!

“Nggak mungkin,” bisik Viska sambil menggeleng. “Itu nggak mungkin!” ia memekik frustasi. Dengan segenap kekuatan, ia mulai berbicara. “Lalu siapa yang selama ini Viska temui, Pa! Kak Yola duduk dihadapan Viska dan duduk dibawah pohon itu! Ia tersenyum pada Viska! Dan tadi Viska tidur dipangkuannya! Nggak mungkin Kak Yola sudah meninggal! Ia hanya pergi dari rumah seperti yang Papa Mama bilang sebelumnya!” Nafas Viska memburu, airmata masih mengalir, pikirannya kacau.

“Viska..” Papa mendekati Viska dan menggenggam tangan putrinya. “Semua itu hanya khayalanmu, nak. Yola tidak ada disana. Tak ada yang melihat Yola disana selain kamu. Kamu hanya berkhayal, nak. Semua itu tidak nyata.” Kembali Papa menatap mata Viska, namun gadis itu menolak dan menundukkan kepala. “Apa kamu sadar kita sekarang ada dimana, sayang? Kita ada di Pemakaman Umum! Sadarlah, nak! Tempatmu melihat Yola adalah makamnya. Disana peristirahatan terakhir Yola. Sadarlah dan lihat dengan jelas, sayang. Disana adalah makam! Disana ada nisan Yola!”

Viska menatap dibawah pohon tempat Yola biasa duduk. Ia memicingkan matanya dan berjalan mendekat. Tiba-tiba Yola ada disana, masih duduk ditempat biasa sambil tersenyum. Viska berhenti melangkah. Matanya membulat melihat siapa disana. “Kak Yola?” panggilnya ragu. Namun tiba-tiba sosok Yola tergantikan oleh sebuah batu nisan. Dengan segera, Viska menyipitkan matanya dan kembali melihat kebawah pohon. Ada sosok Yola disana, namun sedetik kemudian malah batu nisan yang ia lihat.

Yola…..nisan…..Yola……nisan….kemudian Yola lagi…

Viska meremas rambutnya. Ia berteriak histeris. Semua pemandangan itu membuatnya bingung dan sakit kepala. Kenapa yang ia lihat selalu berubah-ubah? Sekarang ia tak tahu mana yang nyata dan mana yang khayalan. Tadi ia melihat Yola tersenyum disana, namun segera digantikan oleh batu nisan.

Viska berteriak, meremas rambutnya dan menghentakkan kakinya ketanah. Bu Liana dan Pak Andrean segera berusaha menenangkan putri mereka. Beberapa pengunjung makam mendekat dengan cemas dan mulai bertanya apa yang terjadi dengan panik.

Tiba-tiba Viska berhenti berteriak, matanya mengerjap-ngerjap, sekelilingnya tak lagi fokus. Hal terakhir yang ia ingat adalah ucapan Papanya bahwa Yola sudah tiada dan tempat ini adalah pemakaman umum. Setelah itu, ia tak sadarkan diri.
***

Viska menatap hasil lukisannya dengan puas. Ia tersenyum miring melihat lukisannya bersama Yola duduk dibawah pohon. Disana terlihat Viska menyandarkan kepalanya dibahu Yola dan kakaknya tersenyum lebar. Cantik. Sangat cantik.

Viska membawa lukisan itu kedalam kamarnya dan menggantung benda itu disalah satu dinding yang masih kosong. Dinding kamarnya sudah hampir penuh dengan lukisan karyanya dengan berbagai ukuran kanvas. Ada lukisan abstrak hingga pemandangan, namun lukisan keluarganya—terutama Yola dan dia—memiliki jumlah terbanyak.

Sekali lagi Viska memandangi mahakaryanya dengan puas. “Kak Yola yang cantik, lukisan ini Viska buat spesial buat kakak dan kayaknya sekaligus lukisan terakhir Viska. Sebentar lagi Viska bakal nyusul kakak kesana. Tolong sambut Viska ya, kak!”

Viska mengitari kamarnya dan menikmati setiap benda yang ada disana. Ia peluk boneka kesayangannya satu persatu, ia pegang semua pernak-pernik disana, ia nikmati tiap detik didalam kamarnya yang luas. Ia menarik nafas dan berusaha merasakan sensasi aneh yang ia rasakan saat ini. Udara dingin dari AC dikamarnya sedikitnya dapat membantu menenangkan hatinya yang panas.

Ia berjalan mendekati lemari kecil disamping ranjangnya dan mengambil foto keluarganya disana. Jarinya menyentuh setiap potret diri disana; Papa, Mama, Kak Yola, dan dirinya sendiri. Terakhir, dikecupnya foto tersebut dengan sayang dan dipeluknya. “Aku sayang kalian,” bisiknya sambil tersenyum dan menutup mata.

Tangan kanan Viska terulur kedalam saku celananya. Sebuah pisau lipat kini berada digenggaman. Ia tersenyum kecut sambil membuka matanya dan memastikan telah memegang benda yang tepat. Kemudian ia menutup matanya lagi, tersenyum, melempar tubuhnya keranjang, dan menusuk dirinya sendiri dengan pisau lipat tersebut…..tepat di jantung.
***

Lagu Rap God dari Eminem memecah kesunyian malam didalam mobil Jazz yang diisi oleh dua orang perempuan cantik didalamnya. Mereka berdua menggerakkan badan sesuai irama yang mengalun dengan keras.

“Gua capeeekkkk sama hidup!” teriak Yola sambil memukul kemudi.

Viska tersenyum miring dan menepuk bahu kakaknya. “Sabar ya! Hidup itu emang kadang nyebelin kak. Terima aja!” balas Viska.

Yola mengangkat bahunya dan tertawa. "Gua selalu nerima apapun. Termasuk orangtua yang nyebelin dan temen-temen yang kayak iblis, sekalian semua cobaan hidup! Meskipun lo tahu gua depresi banget dan pengen mati!”

Mobil itu terus melaju dengan kecepatan yang entah berapa. Sangat cepat menembus gelapnya malam. Namun dua orang didalamnya terlihat biasa-biasa saja dan asik dengan kegilaan diantara mereka.

Tiba-tiba ponsel Yola bergetar didalam saku celana jeansnya. Ia berusaha mengambil ponsel tersebut namun ponsel itu malah terjatuh didekat kakinya. “Shit!” maki Yola. Ia menggapai-gapai ponsel tersebut dengan tangan kirinya, matanya tak lagi fokus dengan jalanan dan mobil masih melaju kencang, hingga tiba-tiba cahaya putih melingkupi mereka.

“Awas kak!” teriak Viska histeris.

Entah apa yang terjadi, setelah itu Viska koma selama seminggu-lebih. Dan saat membuka mata, ia tahu dirinya bukanlah ‘dirinya’ yang dulu lagi. Ia sudah gila. Ia tahu itu, ia hanya menyangkalnya.  
*** 


oleh: Naura Hafiza A

Comments

Popular posts from this blog

Ibu Kita Kartini

Afgansyah Reza-Refrain (chord gitar dan lirik lagu) Ost.Refrain 2013

Hasta Karya dari Barang Bekas