Hari Terakhir
(Written by: Nausagi)
Hari
itu tepat tanggal 3 November. Jujur saja, aku berharap hari itu tidak pernah
ada karena hari itu adalah hari terakhirku bertemu dengan teman-teman baru dari
Negara lain yang sudah terlanjur akrab. Hari itu hari terakhirku bertugas
menjadi tour guide dan hari terakhir
bagi mereka berada di Lubuklinggau.
Jam
sudah menunjukkan pukul 06.30 pagi dan aku sudah duduk di lobby Hotel Abadi sambil menunggu Yuk1 Vira menuju
kesini. Lewat group Humas Mountain
Bike di blackberry messenger, aku
mengetahui bahwa beberapa delegasi dari Negara lain sudah menuju Bengkulu,
tepatnya menuju airport. Ada yang
berangkat pukul 1 pagi, pukul 4 pagi, pukul 6 pagi juga. Tapi, delegasi yang
sudah berangkat ke Bengkulu adalah yang stay
di Hotel Smart, bukan di Hotel Abadi, tempatku biasa ‘bertugas’.
Di
Hotel Abadi hanya ada 4 delegasi; Indonesia, Iran, Jepang, dan Korea. Aku meng-handle delegasi Iran bersama Kak Hendra
dan terkadang membantu Yuk Vira di delegasi Jepang. Sebenarnya aku memiliki
tugas untuk menjadi guide Kazakhstan
yang hanya terdiri dari satu orang, namun karena beberapa hal, tugas itu
diberikan kepada guide Kyrgyzstan yang
juga hanya terdiri dari satu orang, yaitu Mbak Masayu, sehingga ia meng-handle dua orang dari dua Negara
berbeda. Iran sendiri terdiri dari 21 orang, Jepang terdiri dari 16 orang,
sedangkan Indonesia dan Korea, aku tidak begitu ingat berapa jumlahnya.
Bunyi
denting pintu lift yang terbuka
membuatku mendongakkan kepala. Dari sana ada beberapa temanku dari Iran dan
Raita-san, seorang manager tim Jepang yang baik hati, serta Andy, seorang
mekanik tim Jepang yang sangat lucu dan dia yang paling akrab denganku. Aku
mengatupkan tangan sambil berkata “Salam” pada orang-orang Iran dan mereka
membalasnya sambil tertawa, begitu pula denganku. Itu adalah cara menyapa di
Iran. Mereka tidak mengucapkan ‘halo’ atau ‘Assalamualaikum’,
tapi hanya ‘Salam’ sambil mengatupkan kedua tangan. Mereka hampir selalu
tertawa tiap kali aku memberi salam seperti itu pada mereka. Yang jelas, mereka
bilang sangat senang karena aku melakukannya.
“Good morning, Raita, Andy!” sapaku
dengan semangat. Oke, untuk mempermudah, aku akan menulis semua percakapan menggunakan
bahasa Indonesia disini, meskipun sebenarnya tentu saja aku berbicara dengan
bahasa inggris untuk berkomunikasi dengan semua delegasi dari Negara lain.
Raita
dan Andy membalas sapaanku dengan semangat, selalu begitu setiap harinya. Semua
delegasi seakan-akan memiliki energi yang tidak pernah habis meskipun sudah
seharian bekerja. Mereka semua menuju coffe
shop, menikmati sarapan terakhir disini.
Kemudian
temanku yang menjadi guide Korea
Selatan, Han-han (nama aslinya Yohanes), datang dan langsung duduk disampingku.
Wajahnya terlihat lesu. Aku tidak akan bertanya karena kami semua memang
memasang tampang begitu, disamping karena harus ‘bekerja’ dari pagi (tepatnya
jam 6 pagi) sampai malam (karena terkadang ada keperluan meeting LO atau jamuan makan malam di Rumah Dinas Walikota), kami
juga akan berpisah dengan orang-orang yang sudah terlanjur seperti keluarga
selama seminggu ini.
“Sebentar
lagi mereka berangkat,” Han-han tiba-tiba berbicara dengan nada sedih. Yang ia
maksud adalah delegasi Kor-Sel. Aku tahu pasti, Han-han sangat akrab dengan
mereka. Ia sedih, begitu pula dengan aku dan teman-teman lain.
Dari
sini kami berdua bisa melihat kesibukan diluar pintu masuk. Disana sudah ada
bus yang akan membawa delegasi Kor-Sel. Barang-barang mereka sedang dimasukkan
dengan sangat berhati-hati. Di Hotel ini, delegasi Kor-Sel yang akan menjadi
Negara pertama yang meninggalkan kami. Setahuku, Indonesia akan menyusul ke
Bengkulu pukul 8 pagi, Jepang pergi pukul 10, dan Iran yang paling lama; mereka
akan ke Bengkulu pukul 2 siang.
Tak
lama kemudian, Yuk Vira datang dengan langkah lebar-lebar dan senyum gelisah.
Ya, sulit bagi kami untuk tersenyum gembira hari ini.
“Jepang
belum berangkat kan?” untuk kesekian kalinya ia bertanya dan untuk kesekian
kalinya juga aku memastikan kalau Jepang masih berada di Hotel, malah saat ini
sedang menikmati sarapan terakhir mereka.
Lagi-lagi
lift berdenting. Ada Mehdi, manager
tim Iran, Iman si mekanik tim Iran, dan beberapa biker yang akrab denganku; Faranak, Azar, Farzad, Taha, dan Amin.
Hanya Faranak dan Azar perempuan di delegasi Iran, sisanya laki-laki semua. Aku
memberi salam ala Iran kepada mereka setelah berpelukan sedikit dengan Faranak.
Aku memang paling akrab dengan wanita itu. Dia sangat baik dan menyenangkan. Bahkan
temanku Naufal menyebut Faranak sebagai “Naura’s new mommy”.
Akhirnya
aku ikut duduk dimeja Iran yang saat ini sedang menikmati sarapan. Aku
mengobrol dan bercanda dengan mereka sambil menikmati roti selai campur-campur
ala Mehdi dan Farzad. Farzad dan beberapa temannya sendiri sibuk bercanda
denganku sambil memaksaku untuk ikut ke Iran. Kami tahu aku tidak mungkin ikut
ke Iran, namun aku selalu menjawab aku akan ikut penerbangan bersama mereka
sambil tertawa.
Harry
Hendriks, sang pelatih delegasi Iran yang merupakan warga Belanda, datang dan
ikut bergabung. Diantara 21 orang dari Iran, aku paling akrab dengan Harry,
Faranak, Azar, Farzad, Taha, Amin, Iman dan Mehdi. Lagipula, rata-rata orang
Iran tidak bisa berbicara bahasa inggris dengan baik.
Ponselku
berbunyi, ternyata telepon dari Tante Evvy. Beliau bekerja dibagian fisiotherapy di Rumah Sakit Siti Aisyah.
Sudah dua hari ini Faranak dan Taha menjalani fisiotherapy karena ada cedera di otot pada bagian belakang tubuh
mereka. Tante Evvy bilang, beliau akan segera datang ke Hotel untuk pemeriksaan
terakhir kira-kira pukul 9.
Aku
kembali bergabung dengan Han-han dan Yuk Vira saat semua sudah selesai sarapan.
Kami berpisah dengan delegasi Korea setelah itu. Kemudian saat delegasi Korea
sudah pergi meninggalkan Hotel, kami baru sadar kalau Han-han sudah tidak ada
lagi. Entah kemana anak itu, jangan-jangan ia ikut masuk kedalam bus dan pergi
ke Bengkulu.
Aku dan Yuk Vira kembali duduk di lobby, Kak Hendra juga sudah datang ke
Hotel. Kami hanya bisa memerhatikan
semua delegasi yang sibuk bolak-balik; kamar-tempat penyimpanan
sepeda-kamar-tempat penyimpanan sepeda-dan begitulah seterusnya. Semakin lama
kami semakin sedih karena menyadari waktu berpisah sebentar lagi. Kami juga
melihat delegasi Indonesia yang akan menyusul ke Bengkulu.
Tiba-tiba
ada Andy dan Raita mengajak kami mengobrol, kami juga sempat sedikit
bercengkrama dengan beberapa delegasi Jepang lain seperti Noriko, Kazu, Mio,
dan lain-lain hingga Tante Evvy datang dan aku harus ikut dengannya menuju
kamar Faranak. Tante Evvy hanya bisa sedikit berbicara bahasa inggris sehingga
aku harus selalu ikut untuk menjadi penerjemah. Jujur saja, aku meninggalkan
obrolan bersama delegasi Jepang (terutama dengan Andy) dengan sangat berat
hati. Aku ingin berlama-lama dengan mereka karena satu jam lagi mereka akan
pergi dan cukup mustahil untuk bisa bertemu lagi.
Aku
dan Tante Evvy menuju kamar Faranak sedangkan Yuk Vira dan Kak Hendra tetap di lobby. Tante Evvy melaksanakan
pemeriksaan terakhir dan fisiotherapy terakhir
dengan Faranak. Tentu saja sambil pemeriksaan aku dan Faranak tidak berhenti
mengobrol dan kadang bercerita tentang hal-hal ‘gila’, namun saat ini topik
terhangat bagi kami adalah seorang lelaki yang berhasil menarik hati Faranak.
Aku tahu lelaki itu, dia adalah pelatih dari salah satu delegasi dengan biker-nya yang sangat akrab denganku. Mereka menginap di Hotel Smart. Tapi
untuk hal ini aku tidak akan menceritakan apalagi memberitahu siapa lelaki itu
karena ini rahasia. Faranak bilang ia akan membawa kepalaku ke Iran kalau
sampai aku membocorkannya. Hahahahaha…
Setelah
selesai, kami kembali turun ke lobby. Seharusnya
saat ini giliran Taha untuk diperiksa, namun dia tidak ada dikamarnya. Jadi
kami menyusulnya ke tempat penyimpanan sepeda, ia pasti ada disana. Di lobby, aku bisa melihat para delegasi Jepang
yang sudah sibuk memasukkan barang-barang mereka kedalam bus. Ah, waktu cepat
sekali berlalu. Aku sangat ingin bergabung dengan mereka saat ini. Namun
tugasku untuk menemani Tante Evvy belum selesai.
Kami
menuju kamar Taha setelah menemukannya, kemudian Tante Evvy kembali mengecek
Taha. Kami perlu waktu lebih lama karena Taha harus menggunakan alat fisiotherapy lagi. Cederanya lebih parah
dari Faranak. Setelah itu, Tante Evvy memutuskan untuk membawa Taha dan Faranak
ke Rumah Sakit. Mereka harus mendapat obat penghilang sakit sementara karena
nanti mereka harus terbang selama 8 jam menuju Dubai. Belum lagi setelah itu
mereka masih harus terbang sekali lagi untuk menuju ke kota masing-masing.
Saat
kembali ke lobby betapa sedihnya aku
karena ternyata delegasi Jepang sudah berangkat. Baru saja. Padahal aku belum
sempat mengucapkan perpisahan, terutama pada Andy yang sangat humoris. Akhirnya
aku memutuskan untuk mengirim pesan singkat via LINE dan meminta Andy agar menyampaikan salam perpisahanku kepada
yang lain.
Aku
bersama Tante Evvy, Faranak, dan Taha menuju Rumah Sakit. Tidak terbayang
bagaimana semua pasang mata menatap kami dengan heran, terutama Faranak dan
Taha. Turis, itu sebutannya, selalu menjadi pusat perhatian. Kami menuju ruang
pemeriksaan dan setelah diberikan resep kami menuju ke apotik yang terletak
didalam lingkungan Rumah Sakit. Sambil menunggu, kami mengobrol seperti biasa,
menceritakan hal-hal konyol (toh hampir tidak ada yang mengerti), dan bermimpi
bagaimana caranya untuk bertemu lagi. Setelah selesai berurusan dengan Rumah
Sakit, Faranak mengajakku pergi ke salah satu toko ponsel. Ia, Taha, dan salah
satu temannya ingin membeli iPhone.
Kami
menuju salah satu kios penjual ponsel yang tak jauh dari Hotel. Lucunya, aku
menjadi seorang penghubung diantara Faranak dan cece penjual. Si cece sama sekali tidak bisa bahasa inggris,
alhasil aku menjadi ‘jembatan’ disana. Akhirnya kesepakatan pun muncul juga
setelah tawar-menawar yang membuatku ingin tertawa. Kami kembali ke Hotel untuk
mengambil uang dan saat ingin kembali ke kios ponsel, kami mengajak Harry,
Azar, dan Farzad. Lagipula sepertinya Harry sangat dibutuhkan Faranak karena ia
pengguna iPhone. Cukup lama berada
disana, dan jam sudah menunjukkan pukul 12.30. Aku sangat gelisah, sebentar
lagi mereka akan berangkat ke Bengkulu, padahal aku masih ingin bersama mereka.
Kami
kembali ke Hotel dengan keadaan yang kembali ramai—orang-orang Iran yang sibuk
meletakkan tas dan kotak-kotak besar berisi sepeda untuk dimasukkan kedalam bus
dan mobil pengangkut. Aku bersama Faranak dan Azar menuju kamar mereka,
membantu membereskan barang-barang. Setelah itu kami kembali turun ke lobby.
Aku
bersama teman-temanku dari Iran memutuskan untuk mengambil foto terakhir. Sesi
foto-foto itu lumayan membuat perut kami sakit karena tidak bisa berhenti
tertawa. Kami saling berebut tempat agar terlihat kamera, benar-benar
menggelikan. Kebanyakan hasilnya ‘kabur’ karena banyak gerakan dari kami. Tapi
tak apa, setidaknya foto-foto aneh itu akan membuat kami tersenyum bila
dikenang.
Akhirnya
waktu perpisahan tiba. Ini perpisahan yang terakhir setelah Korea, dan Jepang.
Aku berpelukan dengan Faranak dan Azar. Tidak lupa pula melayangkan ‘tos persahabatan’ pada Farzad, Taha,
Harry, Mehdi dan Iman. Mereka memintaku untuk mengunjungi Iran, dan jangan
sungkan untuk mengabari mereka kalau aku kesana. Mereka berjanji akan membawaku
jalan-jalan kesemua tempat menarik disana. Mereka sendiri berjanji akan
mengabariku kalau mereka kembali lagi ke Indonesia. Kami sama-sama tahu kalau
sebenarnya sedikit sekali kemungkinan untuk bertemu lagi. Namun entah mengapa kami
sangat senang membicarakan hari dimana kami bisa bertemu lagi, baik disengaja
maupun tidak disengaja.
Aku
juga memberikan ‘salam’ kepada seluruh delegasi Iran dan mereka tertawa lalu
menjabat tanganku. Kemudian, satu per satu dari mereka masuk kedalam bus
setelah sebelumnya ada insiden aku yang ditarik-tarik masuk kedalam bus (itu
adalah momen paling konyol dan heboh yang pernah ada). Mereka meninggalkan aku,
Yuk Vira, Kak Hendra, Kak Yudha, dan Mbak Vika (sepulang dari kios ponsel, Kak
Yudha dan Mbak Vika sudah ada di lobby Hotel
Abadi, mereka berdua dari Hotel Smart sepertinya). Aku dan Faranak membentuk
tanda ‘love’ dengan tangan kami
diikuti yang lain melambaikan tangan. Setelah itu bus mulai berjalan. Sampai
bus itu menghilang dari pandangan, kami berhenti melambaikan tangan.
Rasanya
aku ingin sekali menangis, sama seperti saat tahu delegasi Jepang sudah pergi.
Namun sekuat tenaga aku menahannya, aku tahu semua guide merasakan hal yang sama. Apa daya, setiap pertemuan pasti ada
perpisahan. Terutama di ajang perlombaan seperti ini, sudah pasti mereka akan
kembali ke Negara masing-masing. Tak apa, setidaknya kami sudah bertukar account di social media. Dan kami semua sudah berjanji untuk tetap
berkomunikasi, terutama apabila mereka kembali ke Indonesia, atau kami yang
akan ke Negara mereka.
Ngomong-ngomong,
cukup sampai disini saja ceritanya. Aku tidak bisa menceritakan secara mendetail dan lebih panjang lagi, karena
saat membuat cerita ini pun rasanya sangat sedih. Yang pasti, aku dan para guide lain menyadari kalau kami sudah
melewati seminggu yang sangat hebat dalam hidup kami.
Lubuklinggau, 3 November 2014, 01:25 pagi
***
Comments
Post a Comment