Nostalgia Sore

Hari ini udara terasa sangat sejuk dengan dedaunan kering yang menari-nari sebelum akhirnya jatuh ketanah. Tanpa disadari lelaki itu menarik bibirnya membentuk lengkungan senyum. Ia membetulkan letak kacamata yang membingkai sepasang bola mata hitamnya kemudian kembali berjalan menuju salah satu tempat favoritnya; lapangan basket.

Dengan langkah lebar dan mantap, ia mendekati salah satu bangku kayu panjang dipinggir lapangan kemudian duduk disana. Ia bertopang dagu dengan telapak tangan terpaut, menikmati setiap bagian di sekolah lamanya ini sambil merasakan rindu yang amat dalam. Keadaan sekolahnya tidak jauh berbeda seperti beberapa belas tahun yang lalu, hanya  cat bangunan yang berbeda dan beberapa bagian gedung yang sudah diubah menjadi lebih modern.

Tiba-tiba ponsel disaku celananya bergetar, ia mengambil ponsel tersebut dan menjawab panggilan telepon setelah membaca pemilik nomer dilayar. “Halo?”

“Azzam! Sudah di sekolah kah kau sekarang?”

Lelaki bernama Azzam itu tersenyum tatkala mendengar suara keras dan khas yang dimiliki salah satu teman masa SMA-nya, Amir, si anak rantau dari Sumatera. “Hai, Mir! Saya sudah di sekolah.”

“Wah, tunggu Zam. Aku masih menunggu si Kholil. Bocah musang itu lama kali! Dia sedang memberi makan musang-musangnya.”

Azzam terkekeh. Rasa-rasanya ia kembali lagi menjadi remaja belasan tahun mendengar suara sahabat lamanya. “Oke, Mir. Saya tunggu disini.”


Azzam memejamkan matanya dengan pelan setelah mengakhiri telepon tadi. Betapa ia ingin kembali kemasa remajanya, terutama kesetiap momen bahagia, haru, hingga ‘gila’ bersama teman-teman seperjuangan. Lapangan basket ini juga merupakan salah satu saksi bisu dimasa remaja Azzam dan teman-temannya yang hampir selalu menghabiskan waktu disana, entah untuk berlatih basket atau hanya duduk menikmati angin sejuk dari pepohonan disekitar. Ah, seolah-olah baru kemarin Azzam berlari-lari mengejar bola oranye untuk dimasukkan kedalam ring basket.
***
“Ini cuma perasaanku atau memang latihan hari ini berat kali?” ujar Amir yang ikut duduk disamping Azzam sambil mengelap keringatnya dengan handuk.

“Santai sedikit, Mir!” jawab Azzam sambil tertawa dan meninju lengan Amir dengan pelan.

“Wajar saja lah, Mir. Minggu depan turnamen dimulai, sudah pasti pelatih memberi latihan yang lebih berat,” Kholil ikut menimpali.

“Ah kau ini Lil! Jangan ingatkan aku dengan turnamen itu terus! Aku merinding membayangkannya!” tukas Amir sambil melemparkan cengiran.

Sore itu cuaca kurang bersahabat. Matahari yang ingin tenggelam masih bersinar meski dengan warna yang mulai berubah senja, namun tetap membuat siapa saja kepanasan. Tak seberapa, namun bagi Azzam dan kawan-kawan, udara panas terik cukup menambah beban mereka.

Untunglah pelatih memberi mereka waktu untuk bersantai sejenak, toh sudah beberapa hari mereka berlatih keras, belum lagi beberapa minggu sudah mereka jalani dengan latihan dan latihan hingga turnamen mendatang.

Saat itu Azzam dan kawan-kawan sudah duduk dikelas 12 selama beberapa bulan. Seharusnya tak ada lagi izin mengikuti turnamen untuk mereka, namun mereka justru memberontak sekaligus memohon agar diizinkan mengikui turnamen. Pada akhirnya mereka mendapatkan izin itu dengan janji kalau ini adalah turnamen terakhir. Mau tak mau mereka menyetujuinya. Karena itulah, Azzam dan kawan-kawan bertekad akan merebut juara pertama seperti tahun-tahun sebelumnya. Latihan apapun akan mereka lakukan demi menyabet gelar juara.

“Hei Anisa!” teriak Amir sambil melambaikan tangannya.

Beberapa murid memang berjalan menuju gerbang dari gedung kelas 12. Anisa adalah salah satu teman sekelas Azzam. Ia pasti baru saja selesai belajar dikelas tambahan. Anisa yang dipanggil oleh Amir berjalan mendekat berdua dengan temannya. Bisa dilihat ransel Anisa yang menggembung sambil memeluk tumpukan buku ditangan mungilnya. Kelas akhir, setelah itu lulus, sudah akhirnya menyibukkan diri dengan pelajaran sekolah.

“Ada apa, Mir?” tanya Anisa.

“Boleh kupinjam buku catatan—apa saja—yang kalian pelajari dikelas tambahan? Besok langsung kukembalikan, Nisa,” kata Amir dengan nada memohon dan wajah memelas.

Anisa menaikkan alisnya namun mengangguk juga. Gadis itu tak mungkin tidak meminjamkan bukunya, ia tak tega melihat temannya kesusahan. “Ini.” Ia menyodorkan bukunya dan Amir segera menyambar.

“Terimakasih, Nisa.”

“Sama-sama. Ngomong-ngomong, sepertinya setelah turnamen kalian harus belajar sangat giat, karena kalian ketinggalan banyak sekali materi.”

“Ya, kami sudah memperhitungkannya. Sepertinya nanti kami akan meminta bantuanmu, Nisa,” tiba-tiba Kholil menyahut.

Anisa hanya membalas dengan senyum kemudian berpamitan pulang.

“Tenang kawan-kawan, besok kuberikan fotocopy-an catatan ini,” jawab Amir saat Azzam dan lain-lain mulai memperebutkan posisi peminjam buku selanjutnya setelah Amir.

“Jadi, kita tertinggal pelajaran jauh sekali. Harus bagaimana?” tanya Azzam.

Kholil menepuk bahu Azzam sambil tersenyum. “Jalani saja. Pasrahkan pada Tuhan,” jawabnya, disambut tawa dari para murid kelas 12 yang mengikuti turnamen.
***
Azzam tersenyum. Itu hanyalah salah satu momen dari sekian banyak momen yang ia alami didunia SMA-nya. Ia masih ingat jelas bagaimana sibuknya ia dan teman-teman mengejar ketertinggalan pelajaran bersama tugas-tugas yang menumpuk setelah turnamen. Setidaknya gelar juara pertama yang berhasil mereka raih memberikan secercah semangat untuk menjalani hari-hari berat sebagai murid ‘bangku akhir’. Turnamen terakhirnya telah diselesaikan dengan baik.

Ia ingat bagaimana ia bersama teman-teman seangkatan yang mengikuti turnamen dengan bangga mengangkat piala super besar sambil menahan airmata haru. Jelas setelah ini tidak ada lagi kata turnamen, latihan, berjuang, maupun deadline.

Terlalu banyak hal yang bisa dinostalgiakan, sebenarnya. Namun untuk saat ini Azzam terlalu asik mengingat setiap pengalamannya bersama tim basket sekolah, segala kesibukan dan stress yang menerpa karena tugas dan materi yang kadang tak bisa ia mengerti sepenuhnya. Tapi untunglah semua itu dapat ia lalui dengan baik meskipun selalu ada masa-masa sulit. Ia rasa masa remajanya di SMA terlewati dengan menyenangkan.

Azzam mendengar langkah kaki mendekat dari kejauhan dan ia membuka mata perlahan. Dikejauhan terlihat dua sahabatnya yang paling solid berjalan mendekat. Azzam berdiri menyambut mereka. Terakhir mereka bertemu sekitar 5 tahun yang lalu saat ada reuni akbar sekolah. Dan kini mereka memutuskan untuk membuat planning bertemu karena kebetulan Kholil dan Amir datang ke kota yang menjadi tempat mereka menempuh pendidikan menengah atas.

“Kawan! Apa kabar kau? Lihat dirimu sekarang, semakin mantap dengan dasi dan setelan licin,” ujar Amir dengan semangat.

Azzam merentangkan tangannya dan memeluk Amir. “Bisa saja, Mir,” jawab Azzam saat pelukan itu terlepas. Ia menepuk bahu Amir kemudian menoleh pada satu lagi sahabatnya yang berdiri beberapa langkah dibelakang. “Kholil,” ucap Azzam.

Kholil berdiri dengan senyum lebar dan tiba-tiba memperlihatkan bola basket ditangan kanannya. Saat itu juga Azzam, Kholil dan Amir tertawa. Segera Azzam menyambut Kholil dan memeluk sahabatnya itu.

“Jadi, sepertinya semua sehat dan siap untuk pertandingan basket?” Azzam tersenyum lebar sambil menyambar bola basket yang kini dipegang Amir. Azzam men-dribble bola tersebut menuju lapangan basket bersama kedua sahabatnya.

Azzam tak bisa memungkiri, sore itu ia seolah kembali ke masa SMA. Menantang dan menyenangkan, membuatnya tak bisa berhenti bernostalgia.

*** 
Oleh: Naura Hafiza .A

Comments

Popular posts from this blog

Ibu Kita Kartini

Afgansyah Reza-Refrain (chord gitar dan lirik lagu) Ost.Refrain 2013

Hasta Karya dari Barang Bekas