Me vs. Brondong
"Sya,
dicariin tuh!” sebuah suara memecah lamunan Irsya yang duduk manis dibangkunya.
Gadis itu mengernyit melihat Kia—si pemilik suara—yang duduk sebangku
dengannya.
“Siapa?”
tanya Irsya sambil berusaha mengintip keluar dari jendela kelasnya yang terletak
cukup rendah sehingga ia bisa melihat keluar meski sambil duduk.
“You-know-who, lah,” jawab Kia sambil berkacak pinggang dengan tatapan
yang-begitu-nggak-usah-ditanya.
Irsya
menghela nafas sebal. Pasti bocah satu itu. Bocah yang secara otomatis menghancurkan
ketenangan Irsya di SMA semenjak kedatangannya. Ya! Memang dia! Irsya bisa
melihat si cowok tengil itu sedang berdiri didepan pintu kelas dengan tampang
polos yang menurutnya sangat menipu.
“Samperin
gih, Sya!” kata Kia yang kini sudah
duduk disampingnya.
Irsya
mendecakkan lidahnya, semakin sebal. Kenapa Kia—dan hampir semua orang—selalu
membela bocah itu?! Oke, memang kalau diperhatikan dengan seksama, wajah si
tengil itu sangat manis, tapi mereka semua tidak tahu bagaimana sifat si tengil
itu sebenarnya! Bocah itu menyebalkan! Sangat menyebalkan!
“Males,”
jawab Irsya pendek. Ia membenamkan wajahnya dan membiarkan tenggelam dalam
pelukan lengannya diatas meja, berusaha tidur dan mengabaikan Kia—terutama si
bocah tengil.
“Jangan
gitu dong, kak.”
Suara itu!
Mata Irsya membuka lebar dan segera mengangkat wajahnya dengan kasar. Ia
menatap sosok dihadapannya—yang sedang nyengir kuda—dengan tatapan penuh
kebencian. Berani-beraninya bocah ini masuk ke kelas!
“Hai
Kak Irsya, Kak Kia,” sapanya manis.
“Hai,
Ergi!” jawab Kia dengan sama manisnya.
Irsya
tiba-tiba berdiri dengan gaduh, membuat seisi kelas menatapnya dengan heran.
Dengan segera Irsya berjalan keluar dari bangkunya, melewati Kia setelah
menabrak kaki temannya itu, kemudian menarik tangan Ergi keluar kelas. Ergi
mengikuti langkah lebar-lebar milik Irsya setelah sebelumnya melirik Kia dan
tersenyum sambil mengedipkan sebelah matanya. Kia sendiri hanya tertawa.
Irsya
membawa Ergi kedaerah perpustakaan, tempat yang cukup sepi. Saat ini ia butuh
bicara empat mata dengan cowok tengil dihadapannya yang masih tersenyum manis
dan memamerkan deretan giginya yang rapi.
“Mau
kamu apa?” tanya Irsya to the point.
“Nggak
mau apa-apa kok, kak,” jawabnya polos sambil menggelengkan kepalanya.
Irsya
memutar bola matanya. “Terus kenapa kamu selalu ngikutin aku? Kenapa selalu
ngeganggu aku? Dan sekarang kamu malah nyamperin aku KEDALAM KELAS! What’s wrong with you!” tukas Irsya
dengan geram. Dadanya turun-naik sembari bernafas memburu karena berbicara
dengan volume yang cukup tinggi.
“Aku
rasa… kakak gak perlu nanya ‘kenapa’ lagi. Kakak tahu jawabannya. Dan aku sama
sekali gak pernah bermaksud untuk ganggu kakak.”
“Oke!
Buat kamu emang gak ganggu! Tapi buat aku IYA! Dan alasan apa, hah? Gak usah hypocrite, deh! Gak usah sok polos juga!” jawab Irsya, masih dengan
nada ketus.
Ergi
terdiam selama beberapa detik, bertatapan tajam dengan Irsya. Ia menghela nafas
dan membasahi bibirnya. Semua ini cukup sulit. “Kak, aku udah bilang kan? Aku
begini karena aku SUKA sama kakak! Aku SAYANG sama Kak Irsya! Aku bakal biasa
aja kalo kakak gak nyuekin aku! Aku cuma pengen kakak nganggap aku ada, dan
setidaknya gak ngacuhin aku. Apa salah kalo aku gini? Aku tahu kakak gak suka,
tapi—”
“Kamu
tau aku gak suka! Udah, ngerti dong! Kalo aku memang gak ngeladenin kamu, ya
udah! Mundur aja kenapa?”
“Kak,
tolong! Aku minta tolong banget supaya kakak mau melihat aku, mau nganggap aku,
Kak! Aku sayang sama kakak! Aku minta maaf karena kakak merasa terganggu, aku
cuma mau kakak sadar keberadaan aku dan memperhitungkan aku buat jadi pacar
kakak. Please, kak.”
Ergi
memandang Irsya dengan tatapan memohon. Tangannya mengepal dan giginya
bergemertak. Ini kedua kalinya ia mengungkapkan perasaannya pada Irsya, ia
harap Irsya tidak marah lagi padanya. Ia harap Irsya mengerti, ia harap….
“Oke,
fine,” Irsya mulai berbicara dan
mengangkat kedua telapak tangannya setinggi bahu. “Sekarang terserah kamu mau
gimana. Yang pasti, aku gak bisa akrab sama kamu, bahkan lebih.” Irsya menatap
Ergi tanpa ekspresi. Dingin.
Ergi
membuang pandangannya sebentar, menatap langit yang tidak begitu cerah. Hatinya
sakit, perasaannya ditolak begitu saja dengan mudah. Tidak, ia tidak menyerah…
tidak semudah itu. Ia sudah bertekad untuk merebut hati Irsya.
“Gak
ada salahnya kan kalo aku nyamperin kakak?” tanya Ergi hati-hati. Matanya
terkunci pada Irsya, ekspresinya tidak lagi polos, wajahnya mengeras.
Irsya
terdiam. Ini kedua kalinya ia melihat ekspresi serius dari Ergi dan keduanya
saat Ergi menyampaikan perasaannya. “Aku… lebih baik kamu jauhin aku.”
Ergi
mengembuskan nafasnya dengan kasar. Ayolah, kenapa Irsya tidak bisa mengerti?
Setidaknya, apa salah jika mereka mendekatkan diri terlebih dulu?
“Aku
gak mungkin ngejauhin kakak, aku gak bisa gitu. Maaf, kak,” Ergi mundur selangkah
kemudian berbalik, meninggalkan Irsya yang masih berdiri disana dengan
canggung. Ergi melangkahkan kakinya menjauh, setitik harapan dalam hatinya agar
Irsya memanggilnya, namun ternyata gadis itu tak berucap sedikitpun. Ia sendiri
takut untuk berbalik lagi, ia takut memperlihatkan dirinya yang lemah.
Setetes
airmata turun perlahan dari masing-masing matanya. Ergi panik dan segera
menghapus dengan punggung tangannya. Pandangannya menyebar ke sekeliling,
memastikan tidak ada yang melihat kalau ia menangis. Ergi, kamu nangis
gara-gara cewek? Shit! Jangan norak,
Ergi. Jangan jadi cowok lemah!
**
“Kamu
ngerasa gak sih ada yang aneh?” mendadak Kia berbicara.
Irsya
mengangkat wajahnya, melepas sedotan yang menghubungkan mulutnya dengan es
jeruk didalam gelas. “Apa yang aneh?” tanyanya. Ia melirik seragam dan sepatu
yang ia kenakan, tidak ada yang aneh. Bahkan atributnya lengkap dan seragamnya
bersih.
“Bukan
kamu yang aneh,” jawab Kia sambil memutar bola matanya. “Tapi Ergi.”
“Ergi?”
ulang Irsya dengan heran dan Kia mengangguk. “Kenapa sama Ergi?”
Kia
mengembuskan nafasnya, heran karena temannya masih belum mengerti. “Harusnya
kamu yang paling sadar, Sya,” tukas Kia gemas. “Udah dua hari dia gak nyamperin
kamu. Dan aku juga gak lihat dia.”
“Ah…
aku kira apaan. Ya bagus dong kalo dia gak muncul lagi. Aku risih tau
digangguin dia.”
Kia
mengangkat kedua bahunya. “Yaah… mungkin dia udah nyerah.”
Irsya
tidak menjawab kalimat terakhir yang dilontarkan Kia. Justru sekarang ia
terhenyak mendengar ucapan Kia. Ergi sudah menyerah? Benarkah? Sebenarnya sudah
sejak kemarin Irsya menyadarinya. Bagaimana mungkin ia tidak sadar, toh sudah
beberapa bulan Ergi selalu mengikutinya kemanapun ia pergi, dan sekarang bocah
itu tidak ada. Menghilang begitu saja. Seharusnya ia bersyukur, ini yang
diinginkannya sejak dulu, tapi kenapa ia merasa sedih…. dan kecewa? Ayolah Sya, jangan bilang kalo hati kamu
udah mulai nerima dia.
**
Irsya
memandang kearah gedung-gedung yang berdiri jauh dari gedung kelasnya, berharap
menemukan sosok yang ia cari. Namun hingga bel berbunyi, sosok itu sama sekali
tidak ditemukan. Bahkan ketika pulang pun ia tidak bertemu dengan bocah yang
selama ini selalu menungguinya hingga supirnya datang menjemput. Apa Ergi
memang sudah benar-benar menyerah dan memutuskan untuk menjauhinya? Tapi,
bukankah Ergi bilang ia tidak bisa menjauhi Irsya?
Bodoh!
Seratus persen Irsya menyesal sudah berbicara kasar dan meminta Ergi
menjauhinya waktu itu. Ia baru sadar kalau ia kesepian. Bukan, bukan karena ia
tidak punya teman. Irsya punya banyak teman, namun ia merasa ada yang hilang
saat tak ada Ergi. Sepertinya bocah itu berhasil merebut hatinya.
“Woi!
Melamun aja!”
Irsya
tersentak dan melemparkan senyum miris kearah Kia. “Kenapa?” tanya Kia.
Irsya
menggelengkan kepalanya dan kembali memandang jauh kedepan, menatap banyaknya
manusia yang terlihat kecil dimatanya. “Nggak kenapa-napa.”
“Bohong!”
tukas Kia sambil menepuk bahu Irsya pelan. “Kangen ya sama Ergi?”
Irsya
melotot, sama sekali tidak terima Kia mengatakan hal itu, walaupun dalam hati
ia sendiri bingung bagaimana perasaannya. Setiap istirahat, entah kenapa Irsya
selalu melihat keluar jendela, berharap Ergi menunggunya didepan kelas seperti
biasa. Tapi sayangnya sosok itu tidak ada.
“Udah
semingguan ini dia gak nyamperin kamu, Sya. Apa dia emang beneran udah nyerah?”
kata Kia pelan.
Irsya
hanya diam. Ia menghela nafas sekilas kemudian menutup matanya. Ternyata ia
sudah masuk kedalam ‘sihir’ bocah itu. Ia sudah tertangkap. Dan sekarang ia
merindukan Ergi.
**
Irsya
terbangun dari tidurnya dan tangannya meraba-raba mencari jam weker yang
berteriak nyaring didekatnya. Ia membuka matanya saat sudah berhasil mematikan
benda tersebut dan menatap langit-langit kamarnya yang gelap. Ia membuka
selimutnya dan duduk, berusaha mengumpulkan nyawanya terlebih dahulu.
Ia
beranjak dari ranjang menuju kamar mandi, setelah itu mengambil sepatunya yang
berada didalam rak sepatu, mengenakannya, kemudian mengambil handuk kecil dan
melingkarkannya di leher.
Irsya
melakukan stretching ringan di
halaman rumahnya kemudian berlari-lari kecil menuju pagar rumah. Ia selalu jogging setiap minggu disekitar komplek
rumahnya. Biasanya taman komplek selalu ramai oleh para penghuni lainnya yang
juga sedang ber-jogging, Irsya akan
bergabung dengan beberapa teman sebayanya.
Langkah
Irsya terhenti saat ia melihat setangkai mawar merah segar yang sudah dikemas
disangkutkan pada celah pagarnya. Irsya mengambil bunga tersebut dan mencabut
secarik surat beramplop hijau yang tertempel disana. Ia membalik amplop
tersebut dan mendapati namanya tertulis disana. Dari siapa ini?
Segera
saja Irsya membuka amplop tersebut dan menarik kertas didalamnya. Serangkaian
kata yang ditulis dengan huruf-sambung yang sangat rapi tertera disana.
“Bahkan seisi dunia pun
bisa membaca isi hatiku yang sangat tergila-gila padamu. Aku tidak bisa
berbohong, aku tidak bisa mengelak, aku tidak bisa berpaling, aku tidak bisa
pergi. Hatiku telah memilihmu. And I
really wanna tell you that I love you, Irsya.”
Irsya
mematung. Udara dingin yang berhembus dan menusuk kulitnya pun tidak bisa
mengusiknya. Ia tidak tahu harus bagaimana. Siapa pengirim surat ini? Ini
pertama kalinya ia mendapat surat dari orang tak dikenal—secret admirer, kah? Ah… ia yakin pengirimnya pasti orang paling romantis
yang pernah ada.
Irsya
mengedarkan pandangannya, mencari-cari mungkin saja sosok pengirim itu masih
berada tak jauh dari rumahnya. Namun ia segera tercengang saat seseorang
berdiri tak jauh didepannya. Ergi.
Ergi
berjalan tenang dengan senyum manis yang menghias wajahnya. Ia berhenti didepan
Irsya. Dalam hati ia berdoa semoga semua berjalan lancar. Semoga Irsya mau
mendengarkan semua yang ingin ia sampaikan selama ini.
“Halo,”
sapa Ergi dengan hati-hati.
Irsya
menggigit bibirnya. Pikirannya kacau, ia bingung apa yang harus dikatakan. Satu
hal yang sangat ia sadari, ia merindukan sosok dihadapannya ini. “Hai,” sepatah
kata akhirnya keluar dari tenggorokannya yang serak.
“Apa
kabar kak?”
Irsya
mengalihkan pandangannya menuju pepohonan yang tumbuh dan tersusun rapi.
Disekitar daerah tersebut tidak ada orang sama sekali. Semua yang jogging pasti sudah berkumpul di taman.
Ergi
tersenyum miring, ia bingung apa yang harus dilakukannya agar Irsya berbicara.
Sudah seminggu ia tidak berbicara dengan Irsya. Bagaimana dengan melihat? Ergi
selalu memerhatikan Irsya dari jauh. Ia tidak mungkin sanggup benar-benar
menjauh dari gadis itu.
“Putar
kertasnya,” kata Ergi tiba-tiba.
Irsya
menatap Ergi dengan heran dan ia melirik kertas yang dipegangnya. “Putar
kertasnya, dibalik,” jelas Ergi lagi.
Tanpa
berkata apa-apa—meskipun dalam hati sangat penasaran dengan sikap Ergi—Irsya
menurut. Ia membalik kertas tersebut dan sedetik kemudian matanya membulat. Sebuah
kalimat tertulis dibalik kertas itu.
“Be my
darling, please?”
Ia
mengalihkan pandangannya dan menatap Ergi yang berdiri dihadapannya, namun
sosok itu sudah tidak ada. Segera ia melihat kebawah dan disanalah Ergi,
berlutut dengan sebuket bunga mawar di tangannya. Irsya membekap mulutnya yang
masih menggenggam surat dan setangkai bunga. Seandainya ia balon, pasti ia
sudah pecah sekarang. Hatinya berdebar tak keruan, perasaannya bercampur antara
gembira, kaget, dan kacau.
“Would you be my sweetest darling ever,
Irsyaqilla Arumi?” tanya Ergi. Matanya menatap Irsya dengan tajam dan senyumnya
tersungging diwajahnya yang manis. Ia menyodorkan sebuket mawar tersebut dan
memiringkan kepalanya. “Kalau ya, silahkan ambil bunganya,” katanya pelan.
Irsya
tak mampu berkata-kata. Matanya berkaca-kaca, ia tidak menyangka Ergi akan
melakukan ini untuknya. Dengan getaran hebat ditangannya, ia mengambil buket
bunga tersebut dan tersenyum. Ya, ini yang diinginkan gadis itu. Hatinya sudah
membuat keputusan, ia sudah memilih.
Ergi
menatap Irsya dengan takjub, tak percaya dengan apa yang dilakukan gadis itu.
Irsya mengambil bunganya? “Jadi?” tanya Ergi takut.
Irsya
tersenyum malu dan akhirnya mengangguk. “Ya,” katanya pelan.
Belum
sampai sedetik, Ergi sudah berdiri dengan semangat. “Mau jadi pacarku?” tanya
Ergi, memastikan.
Irsya
mengangguk lagi kemudian menundukkan kepalanya. Ergi meloncat gembira. “Yesss!”
teriaknya. “Makasih, kak…. eh, makasih Irsya,” kata Ergi sambil menggaruk
kepalanya yang tidak gatal.
Irsya
tertawa, sekarang ia sudah cukup berani memandang Ergi yang saat ini sedang
didera perasaan gembira yang sangat hebat. “Sama-sama,” jawabnya.
Selama
beberapa saat mereka terdiam dan saling menatap kemudian tertawa malu, bingung
apa yang harus dilakukan. Perasaan mereka berdua sudah cukup kacau meskipun
kebahagiaan sudah melingkupi hampir seluruh jiwa mereka.
“Kamu
semingguan ini kemana aja?” tanya Irsya pelan.
Ergi
tertawa kecil, menciptakan suara yang sangat enak didengar. “Aku… menenangkan
dan meyakinkan diri. Selama seminggu aku berpikir tentang perasaanku ke kamu,
dan aku sadar kalo ini semua benar, aku memang punya perasaan spesial ke kamu.”
Irsya
membulatkan bibirnya dan mengangguk mengerti. Dalam hati ia merasa sangat
gembira. Seandainya saat ini tidak ada Ergi, ia pasti sudah meloncat
kegirangan.
“Kenapa?
Kangen ya?” goda Ergi dan Irsya tertawa kemudian menggeleng keraas. “Ngaku aja!”
tukas Ergi sambil mencubit hidung Irsya. Irsya segera berusaha melepaskan
tangan Ergi dari hidungnya dan membalas persis seperti apa yang Ergi lakukan
meskipun agak sulit karena tangannya penuh dengan bunga.
“Jujur
deh, kangen gak?” tanya Ergi, berubah serius.
Irsya
menundukkan kepala dalam-dalam, membuat Ergi geli melihatnya. Yang ia tahu
Irsya adalah kakak kelas super cuek dan judes yang pernah ada. “Cuma merasa
kehilangan aja kok,” jawab Irsya akhirnya.
Ergi
tersenyum lebar, puas dengan jawaban Irsya. Secara tidak langsung Irsa sudah
bilang kalau gadis itu merindukannya. “Oke, setelah ini aku gak bakal ngilang
lagi.”
Irsya
mengangguk setuju dan tersenyum gembira. “Oke,” katanya.
Mereka
berdua saling bertatapan satu sama lain selama beberapa detik, merasa takjub. Irsya
yang takjub karena jatuh hati pada bocah dihadapannya dan Ergi yang takjub karena
gadis tangguh dihadapannya menerima perasaannya.
“Mau
jogging?” tanya Ergi, memecah keheningan.
Irsya
mengernyit. “Bawa bunga ini?” tanya Irsya sambil melirik buket bunga
dipelukannya.
Ergi
mengangkat bahunya kemudian tertawa. “Bawa aja, deh, biar semua orang lihat.”
“Kamu
tuh, ya!” tukas Irsya sambil menjitak kepala Ergi pelan.
Ergi
tertawa dan membalas Irsya dengan mengacak-acak rambut gadis tersebut. “Yuk,
jalan!” katanya sambil menggenggam lengan Irsya, mengajaknya berlari-lari
kecil.
Pagi
itu adalah salah satu pagi terbaik dan termanis yang pernah dialami oleh Irsya
dan Ergi. Tak ada yang tahu sampai kapan hubungan itu akan berlanjut, tapi
dalam hati, Irsya dan Ergi bertekad untuk menjalani semua yang ada dengan apa
adanya dan selalu saling menyayangi.
Pada
akhirnya, si cewek ‘penguasa’ jatuh didalam lubang milik cowok yang disebut
sebagai ‘bocah’ dan anehnya, si penguasa malah merasa nyaman dan tidak ingin
keluar dari lubang tersebut. Kalau bisa, sampai selama-lamanya.
**
Written
by: Naura Hafiza .A
Comments
Post a Comment