Si Pencuri
Written by: Naura Hafiza A
***
***
Pagi
itu Nanad terbangun dengan sedikit sentakan ditubuhnya. Ia langsung duduk tegak
diatas ranjang kemudian melompat dan menyambar tas ranselnya. Seharusnya masih ada, gumamnya.
Dibukanya
ritsleting tasnya, ia mengeluarkan
seluruh buku didalamnya sampai tak bersisa apapun. Wajahnya pucat dan
jantungnya berdegup kencang, bulir-bulir keringat pun membasahi wajahnya. Ia menggigit
bibir dan dengan gemetar memeriksa tasnya sekali lagi. Tidak ada. Uang itu
lenyap.
Tak
mau putus asa, Nanad membuka bukunya satu persatu, menggoyangkannya ke
kanan-kiri namun tak ada hasil. Nihil. Uang itu benar-benar sudah menghilang. Seketika
Nanad bersandar disisi ranjang, lemas. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Uang
itu bukan miliknya, tetapi milik teman-teman sekelasnya yang membayar buku. Ditambah
lagi jumlahnya tidak sedikit, 600 ribu rupiah. Tak mungkin Nanad menggantinya
dengan kurun waktu kurang dari tiga minggu.
Nanad
berteriak frustasi sambil melempar tas ranselnya. Ia sangat takut, kalut,
bingung, dan semua perasaan tak enak bercampur didalam batinnya. Siapa yang
tega mengambil uang tersebut? Apa pencuri
itu tak punya hati nurani sama sekali? Apa ia tak pernah berpikir kalau ulahnya
membuat Nanad harus bertanggung jawab? Mana mungkin Nanad memiliki uang
sebanyak itu!
“Ada
apa, Nad?” Kak Fina membuka pintu kamar dan menatap Nanad dengan khawatir. “Kenapa
kamu teriak-teriak begitu?”
Nanad
tergagap dan dengan cepat memperbaiki posisi duduknya yang berantakan. Ia memaksakan
seulas senyum tersungging diwajahnya. “Eh, nggak ada apa-apa, kak. Nanad cuma
lagi bingung aja gimana ngerjain PR ini,” kilahnya sambil menggoyangkan sebuah
buku ditangan kanannya.
Kak
Fina mengangkat alisnya. “Oh ya? Makanya kalau ngerjain PR jangan pagi-pagi
begini biar nggak kerepotan, Nad. Lihat ini sudah jam berapa. Ayo mandi dulu!”
Dengan
langkah gontai, Nanad mengambil handuk dan berjalan menuju kamar mandi. Tidak,
kakaknya tidak boleh tahu masalah ini, apalagi orangtuanya.
***
“Hah?
Uang bukunya hilang, Nad?” pekik Reni, namun segera ia menutup mulutnya. “Kok
bisa, sih?” tanya Reni dengan suara yang lebih pelan.
Nanad
menggeleng putus asa. “Aku nggak tahu, Ren. Uangnya hilang begitu saja! Padahal
kemarin pagi masih ada. Gimana nih, Ren? Tiga minggu lagi kita sudah ulangan
semester dan uang itu harus disetorkan!” Nanad menutup wajahnya dengan telapak
tangan, berusaha menahan agar tidak menangis.
Reni
mengelus bahu Nanad, ia sendiri tidak tahu harus bagaimana. Yang pasti masalah
ini harus diselesaikan. Kasihan Nanad,
pikirnya. “Sabar, Nad. Kita pasti bisa menyelesaikan masalah ini. Orangtua kamu
tahu, Nad?”
Nanad
tertunduk lesu. “Orangtuaku nggak boleh tahu masalah ini, Ren. Bahkan Kak Fina
juga. Aku nggak mau menyusahkan mereka. Lagian ini salahku, Ren.”
Reni
menghela nafas, ia mencoba mengingat apa yang terjadi kemarin. Tiba-tiba Reni
tersentak, ia teringat sesuatu. “Ah! Bukannya kemarin kita duduknya
pindah-pindah, Nad? Dan pulangnya kita juga ninggalin tas dikelas pas kerja
kelompok. Iya kan? Tasnya kita letakkan sembarangan disini.”
“Benar
juga, Ren. Tapi apa mungkin…..” ucapan Nanad terputus, tak berani melanjutkan
sama sekali.
“Bisa
saja, Nad. Nggak ada yang tahu isi hati manusia kecuali dirinya sendiri dan
Tuhan!” tukas Reni. Kali ini nada keyakinan terpancar jelas diucapannya.
“Ah
sudahlah Ren. Kita nggak boleh suudzon dulu,”
jawab Nanad. Ia menatap kelasnya berkeliling, melihat wajah teman-temannya.
Sedikit keraguan terbersit dihatinya, toh ia sudah mempercayai teman-teman
sekelasnya dan rasanya tak mungkin salah satu dari mereka adalah si pencuri.
Nanad
menggeleng, dengan cepat menghilangkan pikiran itu. Sekarang ia harus memutar
otak untuk mencari penyelesaian masalah ini. Ia hanya bisa berharap si pencuri sadar dan bertaubat.
“Apa
kita laporkan ke BK saja, Nad?” bisik Reni tiba-tiba.
Nanad
menyandarkan punggungnya ke kursi. Pasrah dan putus asa bercampur jadi satu. Sekali
lagi ia menatap berkeliling isi kelasnya—memerhatikan teman-temannya yang sibuk
dengan kegiatan masing-masing. Ah, menyedihkan. Setiap detiknya terasa sangat
menyiksa bagi Nanad.
***
Comments
Post a Comment