Menunggumu :)
Aku melihatmu. Sore kemarin.
Lewat begitu saja disampingku. Dan aku baru menyadarinya saat kamu sudah jauh
didepanku. Aku hanya melihat punggungmu, padahal aku berharap melihat
wajahmu—terutama senyummu. Bahkan, dari belakang pun aku tahu kalau itu kamu. Kamu
itu… sosok yang sudah terekam jelas dalam otakku.
Tapi, apa kamu sadar akan
keberadaanku? Mungkin ya, mungkin tidak. Entahlah. Aku hanya berharap kamu
memang tidak melihatku. Ya, itu caraku supaya tidak kecewa. Toh, beberapa kali tak
sengaja bertemu denganmu tapi kamu tak pernah sekalipun melihatku.
Padahal baru saja siang tadi aku
mengasihani diriku yang tak bisa move-on darimu. Baru saja aku membuka akun
socmed-mu. Baru saja aku mengingat semua yang terjadi di November tahun lalu.
Tentu, November tahun lalu. Masih ingatkah kamu? Tidak, bukan sekarang. Saat
ini kamu belum mengutarakan perasaanmu. Tapi 11 hari kemudian. 11 hari kemudian
kamu mengucapkan kalimat magis itu. 11
hari kemudian…tapi setahun yang lalu.
Dan saat aku mulai larut pada
semua kenangan kita, aku justru bertemu denganmu—mungkin lebih tepatnya
melihatmu. Pertanda apa itu? Cuma kebetulan, kah? Tidak, aku benci dengan yang
namanya kebetulan. Tidak ada yang namanya kebetulan. Semua yang terjadi adalah
sesuatu yang memang ‘ditulis’ untuk terjadi. Dan aku berusaha menafsirkan
sendiri kejadian tadi. Apa itu pertanda kalau kamu akan kembali? Atau itu
pertanda kalau memang kita tidak akan bersama lagi? Oke, cukup memikirkan itu.
Aku benci memikirkan kegalauan hati ini.
Tapi sungguh, aku tak bisa bila
harus begini terus. Aku lelah menunggu yang tak pasti. Dan mungkin memang aku
yang bodoh karena masih mengharapkanmu yang sudah jelas tak peduli lagi padaku.
Hanya saja, aku tak bisa berhenti. Aku ingin kamu sadar bahwa disini ada aku
yang selalu memikirkanmu, memantaumu, dan memerhatikanmu dari jauh.
Semua ini membuatku putus asa dan
akhirnya membuat suatu keputusan yang lain: aku hanya ingin bisa kembali
berkomunikasi denganmu. Itu saja. Tak perlu ada suatu ikatan-tak-terlihat
diantara kita, yang penting aku bisa bersamamu—menikmati senyummu, suaramu,
tingkahmu yang lucu dan terkadang sangat manis itu.
Hanya itu inginku. Sebenarnya aku
menginginkan lebih—aku ingin kita kembali seperti dulu. Tapi jika itu tak
mungkin bagimu, aku terima. Dengan lapang dada. Dengan ikhlas. Aku akan terima.
Asal aku bisa terus disampingmu tanpa ada tembok pembatas yang membuat kita
berdua merasa asing.
Mengapa aku begini? Jika kamu
memang ingin tahu, jawabannya simple. Karena aku menyayangimu. Itu saja. Itu
yang membuatku hingga saat ini dengan bodohnya selalu menunggumu, menunggu kamu
yang menganggapku lalu, menunggumu yang tak menganggapku.
Tapi tak apa. Jika itu
satu-satunya cara untuk membuatmu
tersenyum padaku, aku akan melakukannya. Meski harus dengan kesabaran tinggi.
Tak apa. Aku masih disini, menunggu hatiku terbalaskan oleh hatimu. Masih disini,
tanpa ada batas waktu.
Comments
Post a Comment